Showing posts with label hikmah. Show all posts
Showing posts with label hikmah. Show all posts
Monday, December 1, 2014
Vaksin
Kenapa saya ikut dalam kampanye Vaksinasi?Apa untungnya buat saya?
Karena saya sayang sekali dengan putri saya, keponakan - keponakan saya, anak - anak ini masa depan bangsa, saya tidak ingin mereka lemah, dan bukan kah Allah lebih suka pada umatnya yang kuat?
Lalu apa hubungannya dengan anak orang lain yang tidak divaksin?Tahukah bunda, bahwa anak yang tidak divaksin bila berinteraksi dengan penderita salah satu penyakit menular dapat menyebarkannya kepada orang lain, tapi tidak dengan anak yang sudah divaksin.
Contoh gampangnya, si A yang belum divaksin campak diajak silaturrahim kerumah saudaranya orang tuanya, disana A bertemu sepupunya B, ternyata B ini sedang kena campak, lalu si A dan orang tuanya pulang, ditengah perjalanan orang tuanya mengajak A mampir kerumah teman org tuanya untuk menjenguk bayi C berumur 3 bulan (Yang tentu saja belum divaksin campak, vaksin campak diberikan pada umur 9 bln). Si A secara tidak sengaja tertular campak dan menularkannya pada anak lain. Bunda mungkin berfikir"ah campak, tidak berbahaya kok"Tapi taukah bunda bahwa campak dapat menyebabkan komplikasi seperti Bronkhitis, bronkhitis, laryngitis, atau croup (batuk menggonggong), Pneumonia atau radang paru-paru, radang otak (encephalitis), kadang terjadi trombositopenia (penurunan jumlah trombosit), sehingga penderita mudah memar dan mudah mengalami perdarahan.
Andai saja A sudah divaksin campak, Bayi C pasti terhindar dari campak yang dibawa A.
Dengan semakin banyak anak yang divaksin dapat membantu melindungi anak - anak yang lain dari tertular penyakit - penyakit tertentu.
Kalau saja saya bisa berfikir, itu bukan urusan saya, tentu saya tidak akan repot - repot ikut berkampanye vaksinasi. Ayo bantu anak - anak Indonesia Kuat dan Sehat.
Saya tidak ingin melihat putri saya sakit, dan saya yakin bunda - bunda sekalian pun pasti ingin putra putrinya dijauhkan dari penyakit - penyakit apapun.
Bukankah mencegah lebih baik dari pada mengobati?
Salam sayang
Bunda Vivi Baca Selengkapnya ...
Tuesday, June 19, 2012
Rose
Rose,
Akhirnya sampai juga buku ini dalam genggaman, saat mulai membaca aq benar
– benar tidak punya gambaran sedikitpun buku ini bercerita tentang apa. Sinta
Yudisia sudah merupakan jaminan bacaan bagus dan berbobot bagiku. Jadi saat
ditag mbak Sinta review buku ini via fesbuk, aq langsung skip. Bukannya ga
suka, tapi ogah dapet spoiler, soalnya direview biasanya ada spoilernya. Bahkan
saat mengambil buku ini dari rak, aku tidak mengintip sinopsi dibelakangnya.
Padahal membaca sinopsis buku adalah salah satu kegiatan wajib ku saat hendak
membawa buku ke meja kasir. Pengecualian untuk mbak Sinta Yudisia.
Membaca judulnya dan dari awal cerita kupikir cerita ini akan berkisar
tentang perempuan bernama “Rose” ternyata dugaan ku tidak sepenuhnya benar.
Rose adalah sebuah kisah keluarga, konflik saudara perempuan, cemburu, hal –
hal yang biasa muncul didalam keluarga.
Rose, betapa besar luka yang dibuat oleh saudara, ia tetaplah saudara.
Sejauh apapun ia pergi, suatu saat ia pasti kembali. Sebesar apapun permasalahan
yang muncul dan usaha untuk menghindarinya dia harus dihadapi.
Rose, membuatku menekuri satu demi satu keputusan yang telah kubuat. Ku
ingat – ingat kapan terakhir kali aku memohon bantuan pada Nya untuk mengambil
keputusan? Sudah lama sekali.
Ah, Rose...
Tapi, seperti kebanyakan buku mbak Sinta terdahulu, ending Rose juga
dibikin gantung. Entah nanti mau dibuat sekuel atau memang diserahkan pada
pembaca untuk berandai – andai bagaimana kelanjutannya.
Mbak Sinta Yudisia, Terima kasih atas tamparan keras “Rose” pada ku...
sakit sih, tapi pantas.
Wonoayu, 19 Juni 2012
Baca Selengkapnya ...
Tuesday, September 27, 2011
[Review] Tahta Awan
Buku kedua dari trilogi “The Road To the Empire” ini masih berkisah tentang Pangeran Mongol Muslim pertama. Cerita bagaimana asal mula keislamannya ada pada buku pertama. Yang belum baca rekomended banget buat dibaca.
Setelah kemenangan atas perang melawan adik kandungnya Arghun Khan di Cekung Turpan, Akhirnya Takudar pangeran Kesatu Mongolia naik Tahta dengan gelar Takudar Muhammad Khan. Bukan hal yang mudah baginya memimpin Mongol dengan gelar keislamannya, banyak kalangan yang meremehkan. Bayang – bayang Arghun Khan yang memimpin Mongol dengan tangan besi kerap membuatnya dibanding – bandingkan dengannya.
Ia banyak membuat perubahan dalam kepemerintahan, ia juga berusaha mengubah pola kehidupan rakyatnya agar mulai memperhitungkan pertanian. Kedekatannya dengan utusan dari wilayah muslim pun menimbulkan kecemburuan suku – suku mongol. Ia dituding lebih suka berlama – lama dengan utusan muslim dan membaca kitab.
Keputusannya untuk membiarkan Arghun Khan tetap hidup pun dianggap sebagai bentuk kelemahannya, Ia tak dapat bertindak tegas. Ia kerap datang sendiri menemui saudaranya dipenjara Bayarkhuu, menolak usulan pejabat negara dan bangsawan agar Arghun Khan yang datang menemuinya dengan kawalan ketat. Tidak, Takudar tak ingin Arghun mendapat simpati dari orang – orang yang masih setia kepadanya.
Tuesday, September 13, 2011
[Kesan Pertama] Kupinang Kau Dengan Bismillah
Maaf bila ada yg tidak berkenan, ini cuma uneg - uneg.
Saat membaca judulnya langsung ingat bukunya Faudzil Adhim, sudah lama sih baca buku itu dan setahuku itu buku bukan novel. Jadi cukup penasaran sama ceritanya.
Karena ini sinetron dari awal aku ga beharap banyak, biasalah sinetron paling ceritanya segitu begitu aja. Hari ini tayang perdana, baru juga kelar nontonnya.
Sempet ketinggalan awal cerita, tapi setelah beberapa menit kayaknya ceritanya udah bisa ditebak. Lelaki sholeh nan miskin jatuh cinta pada perempuan kaya yang notabene engga sholihah.
Di episode pertama ini udah kecewa dengan alur ceritanya, kenapa? Satu saat bapaknya siapa tadi (lupa namanya) kecelakaan dan butuh biaya rumah sakit, si anak mencoba meminta pertolongan pada kerabatnya.
Dilihat dari caranya dipanggil sepertinya dia ulama, tapi sayang istrinya yang dimintai tolong si anak malah ketus tak perduli dengan kesusahan saudaranya, masalahnya yang membuatku kecewa adalah si istri tersebut berjilbab, sebagai istri seorang ulama seharusnya ia lebih perduli, santun dalam betutur dan dermawan.
Sunday, July 31, 2011
[Review] TRTTE, Kisah Pangeran Muslim Mongol Mengambil kembali Haknya
Lama sekali buku ini masuk dalam waiiting list, Alhamdulillah jumat kemaren buku ini beserta sekuel keduanya "Tahta Awan" sampai dengan selamat sentosa di kamarku terbungkus rapi kumplit dengan tanda tangan dan pesan spesial dari sang penulis ^_^. Maklum beli langsung pada penulisnya Mbak Sinta Yudisia.
Ini bukan buku pertama Mbak Sinta yang kubaca, jadi tidak kaget dengan deskripsi panjang diawal menjelaskan duduk perkara ihwal pelarian sang Pangeran Pertama Takudar Khan. Meskipun seret diawal (secara daku memang rada enggan baca deskripsi yang terlalu panjang ^_^') tapi setelah sampai sekitar sepertiga, cerita mulai menglir lancar malah membuatku enggan melepaskannya seolah menuntut untuk segera menamatkannya. ^_^
Dalam pelarian inilah Takudar khan dan pelayannya berganti nama menjadi Baruji dan Almamuchi (bener ga nih tulisannya?) bertemu dengan Rasyiduddin yang juga berganti nama menjadi Salim (my fav character in this story ^_^), mereka berdua bekerja sama demi mengembalikan hak sang pangeran pertama akan Tahta Mangolia dan mengembalikan kejayaan Islam.
Tuesday, July 26, 2011
Ramadhan ceria
Ramadhan tiba, Ramadhan tiba...
Lirik lagu Om Opick akhir – akhir ini terus terngiang – ngiang diotak, ya gimana engga hampir tiap hari lagu ini selalu berada di daftar putar winamp. Sengaja beberapa bulan terakhir ini memang ingin mengkondisikan diri untuk membawa aura Ramadhan datang lebih awal, ^_^ maksa. Tapi sebenernya, meski ga dipaksa ramdhan juga bakalan datang kok, minggu depan gitu.
Yap, minggu depan sodara – sodara, Ramadhan sudah diambang pintu. Ups, Btw siapa kah gerangan sih Ramadhan ini, kenapa juga orang – orang musti nunggu – nunggu dengan antusian kehadirannya? Yeee, dia bukan orang kali. Capek Deh! ^_^’.
Baca Selengkapnya ...
Friday, July 1, 2011
Apa arti kata itu Mah..?
"BULAN SATU"
Hai Mah...
Aku memang hanya 3/4 inci aja panjangnya, tapi aku sudah punya seluruh organ tubuh...
Aku suka suaramu...
Setiap kali aku mendengarnya, aku pasti menggoyangkan tangan dan kakiku...Hiihi.
Suara detak jantungmu adalah lagu kesukaanku...:)
"BULAN DUA".
Mamah...
Hari ini aku belajar menghisap jariku..asiiik.
Kalo kamu bisa melihat aku
Kamu pasti tau kalau aku adalah bayimu..
Aku memang belum cukup besar tuk hidup di luar....
Betapa nyaman dan hangat di dalam sini, Mah...:)
Thursday, June 16, 2011
I am With You
Don't be afraid my dear brother
We will cross together
Don't be afraid my dear brother
Don't look down don't look back
Don't be afraid my dear brother
Hold my hand, i will not let you drown
Let's go my dear brother
I am with you
Friday, June 3, 2011
Usus Buntu dan Biji – bijian
Dulu kita sering diingatkan orang tua kita jangan telan biji jambu, nanti usus buntu...!!
Saya pernah diskusi dengan teman yang seorang dokter bedah. Dokter itu menerangkan bahwa dia sudah ribuan kali mengoperasi orang yang kena sakit usus buntu. Selama dia operasi usus buntu, belum pernah dia menemukan di dalam usus buntu itu yang namanya biji jambu, biji cabe, apalagi biji durian.
Dokter itu menerangkan pula, bahwa sakit usus buntu terjadi karena kita : KURANG MINUM AIR ! Bukan karena makan biji-bijian.
Baca Selengkapnya ...
Thursday, May 26, 2011
LUSI, Kilas Balik dan Dimulainya Pengeboran Baru
Lima tahun (kalo tidak salah) luapan lumpur Lapindo di Porong belum juga menunjukkan tanda – tanda akan segera berhenti, malah beberapa minggu yang lalu salah satu tanggul jebol lagi. Beberapa titik semburan baru juga kerap muncul. Di pekarangan rumah bahkan ada yang didapur rumah warga.
Lima tahun bukan waktu yang singkat, berbagai penelitian telah dilakukan baik ahli dari dalam negeri atau dari luar negeri. Baru – baru ini terdengar kabar puluhan ilmuwan akan berkumpul untuk meneliti kembali persoalan ini, tak tanggung – tanggung penggagasnya dari Australia. Semoga usaha – usaha yang dilakukan dapat membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
Saat melintasi jalan raya Porong untuk pertama kali setelah luapan lumpur Lapindo, saya merasa miris sekali, bangunan – bangunan disebelah timur, seolah melihat kota mati. Bangunan – bangunan berjajar tanpa atap, tanah kering, gersang, dibeberapa bagian terlihat retak – retak, sinar matahari terasa sangat terik membakar tanpa ada pepohonan untuk berteduh.
Baca Selengkapnya ...
Wednesday, December 29, 2010
Action
Jangan Menunggu Bahagia Baru Tersenyum.
Tapi Tersenyumlah, Maka Kamu Kian Bahagia
Jangan Menunggu Kaya Baru Bersedekah.
Tapi Bersedekahlah, Maka Kamu Semakin Kaya
Jangan Menunggu Termotivasi Baru Bergerak.
Tapi Bergeraklah, Maka Kamu Akan Termotivasi
Baca Selengkapnya ...
Tapi Tersenyumlah, Maka Kamu Kian Bahagia
Jangan Menunggu Kaya Baru Bersedekah.
Tapi Bersedekahlah, Maka Kamu Semakin Kaya
Jangan Menunggu Termotivasi Baru Bergerak.
Tapi Bergeraklah, Maka Kamu Akan Termotivasi
Friday, December 10, 2010
Dari Bedah Buku Existere Sampai Kalap Buku
Pagi itu kami berdua berjibaku dengan jalanan Sidoarjo, polusi, rentetan mobil dan motor yang berebut kecepatan ingin segera sampai dilokasi tujuan. Beberapa tetes keringat tak ingin ketinggalan ikut membuatku merasa tidak nyaman, kulirik Mbak mufa yang duduk disamping, ia terlihat menikmati perjalanan, mungkin ia sudah terbiasa dengan lalu lintas Surabaya dipagi hari. Ia santai membuka lembar demi lembar koran yang sempat dibelinya sebelum naik angkot.
Sempat beberapa kali menengok layar hape untuk sekedar melihat jam berapa sekarang, sudah lewat jam sepuluh kami masih berada di terminal Joyoboyo menunggu penumpang penuh, syukurlah tidak lama kemudian sang supir melajukan colt berwarna coklat membelah jalanan Surabaya.
Meskipun sampai di tempat acara Bedah Buku Existere telat lebih dari tiga puluh menit ternyata kami tidak telat sedikitpun, acara belum dimulai. Aku tidak melihat Mbak Sinta Yudisia penulis buku yang akan dibedah.
Bedah bukupun segera dimulai bersama dengan naiknya Mbak Sinta Yudisia ke atas panggung bersama sang moderator, acara berjalan dengan santai meskipun tema yang dibawakan cukup serius, tentang kehidupan para "kupu - kupu malam".
Mbak Sinta Yudisia menceritakan beberapa kisah tentang narasumber yang ia gunakan dalam menulis bukunya. Alasan yang sering diungkap mengapa mereka menjerumuskan diri kedunia pelacuran, kemiskinan. meskipun saat ini kekurangan materi bukan lagi satu - satunya alasan seseorang terjun kesana.
Menurut penuturan narasumber, pemberontakan pada orang tua juga menjadi penyebab mengapa mereka memilih menjadi pelacur.
Selanjutnya sesi tanya jawab berlangsung, dengan iming - imingi doorprice, banyak tangan - tangan yang diangkat untuk bertanya. ups, bisa jadi karena memang ingin bertanya, bukan karena doorprice dong!!
Setelah dipilih tiga penanya untuk mendapatkan doorprice, tiba saatnya untuk bagi - bagi hadiah. Setelah pertanyaan dilempar, yang bisa menjawab diharuskan lari kedepan, bukan angkat tangan, jadi yang cuma angkat tangan dan diam ditempat musti rela gigit jari ga dapat hadiah. Hanya yang berani maju kedepan saja yang mendapat kesempatan untuk dapat hadiah.
Semeriah apapun acaranya tetap harus berakhir, sayangnya kami musti pulang tanpa membawa oleh - oleh doorprice satu pun, bahkan mug yang digadang - gadang mau dibawa pulang pun tak ada. Karena kata mbak Sinta mugnya telah diserahkan pada panitia. Hiks... hiks...
Tapi bukan berarti kita pulang dengan tangan kosong, karena ternyata Atrium PPIC (Plasa Pendidikan Indonesia Cerdas) yang berada di Kapas Krampung Plasa adalah gudangnya toko buku dengan diskon bervariasi dan sangat menggiurkan. Benar - benar surganya para kutu bukuer.
Saran ku, kalau ada yang ingin kesana siapkan budget terlebih dahulu, dan yang paling penting jangan bawa atm. ingat JANGAN BAWA ATM, kalau tak ingin kalap dan berakhir dengan tongpes. Jangan sampai baru sadar ketika barang bawaan anda sudah terlalu berat, bertas - tas kresek sudah memberati tangan anda.
Peringatan itu bukan hanya sekedar warning, itu karena penulis sudah mengalaminya sendiri, Atrium PPIC Kapas Krampung Plasa telah membuat ku benar - benar lupa diri, lupa waktu, lupa budget. hi hi hi.
Wonoayu
10 Desember 2010 16.34
Baca Selengkapnya ...
Sempat beberapa kali menengok layar hape untuk sekedar melihat jam berapa sekarang, sudah lewat jam sepuluh kami masih berada di terminal Joyoboyo menunggu penumpang penuh, syukurlah tidak lama kemudian sang supir melajukan colt berwarna coklat membelah jalanan Surabaya.
Meskipun sampai di tempat acara Bedah Buku Existere telat lebih dari tiga puluh menit ternyata kami tidak telat sedikitpun, acara belum dimulai. Aku tidak melihat Mbak Sinta Yudisia penulis buku yang akan dibedah.
Bedah bukupun segera dimulai bersama dengan naiknya Mbak Sinta Yudisia ke atas panggung bersama sang moderator, acara berjalan dengan santai meskipun tema yang dibawakan cukup serius, tentang kehidupan para "kupu - kupu malam".
Mbak Sinta Yudisia menceritakan beberapa kisah tentang narasumber yang ia gunakan dalam menulis bukunya. Alasan yang sering diungkap mengapa mereka menjerumuskan diri kedunia pelacuran, kemiskinan. meskipun saat ini kekurangan materi bukan lagi satu - satunya alasan seseorang terjun kesana.
Menurut penuturan narasumber, pemberontakan pada orang tua juga menjadi penyebab mengapa mereka memilih menjadi pelacur.
Selanjutnya sesi tanya jawab berlangsung, dengan iming - imingi doorprice, banyak tangan - tangan yang diangkat untuk bertanya. ups, bisa jadi karena memang ingin bertanya, bukan karena doorprice dong!!
Setelah dipilih tiga penanya untuk mendapatkan doorprice, tiba saatnya untuk bagi - bagi hadiah. Setelah pertanyaan dilempar, yang bisa menjawab diharuskan lari kedepan, bukan angkat tangan, jadi yang cuma angkat tangan dan diam ditempat musti rela gigit jari ga dapat hadiah. Hanya yang berani maju kedepan saja yang mendapat kesempatan untuk dapat hadiah.
Semeriah apapun acaranya tetap harus berakhir, sayangnya kami musti pulang tanpa membawa oleh - oleh doorprice satu pun, bahkan mug yang digadang - gadang mau dibawa pulang pun tak ada. Karena kata mbak Sinta mugnya telah diserahkan pada panitia. Hiks... hiks...
Tapi bukan berarti kita pulang dengan tangan kosong, karena ternyata Atrium PPIC (Plasa Pendidikan Indonesia Cerdas) yang berada di Kapas Krampung Plasa adalah gudangnya toko buku dengan diskon bervariasi dan sangat menggiurkan. Benar - benar surganya para kutu bukuer.
Saran ku, kalau ada yang ingin kesana siapkan budget terlebih dahulu, dan yang paling penting jangan bawa atm. ingat JANGAN BAWA ATM, kalau tak ingin kalap dan berakhir dengan tongpes. Jangan sampai baru sadar ketika barang bawaan anda sudah terlalu berat, bertas - tas kresek sudah memberati tangan anda.
Peringatan itu bukan hanya sekedar warning, itu karena penulis sudah mengalaminya sendiri, Atrium PPIC Kapas Krampung Plasa telah membuat ku benar - benar lupa diri, lupa waktu, lupa budget. hi hi hi.
Wonoayu
10 Desember 2010 16.34
Wednesday, October 20, 2010
Adek Iqbal Ga Nakal Kok
Sepertinya tidak ada habisnya bila bercerita tentangnya. Selalu saja ada hal – hal yang mengejutkan bagi kami yang berada didekatnya. Hal – hal kecil namun mampu membuat kami terpana, terpesona olehnya.
Tingkah polanya sering membuat kami betah berada lama – lama bersamanya. Aku sendiri bahkan merasa nyaman berada bersamanya, mengajaknya jalan – jalan berpetualang disiang hari yang panas, menyusuri jalan setapak ditepi sawah. Menghabiskan semangkuk mie ayam dan segelas es teh berdua. Energinya seperti tak kenal lelah, Kau berbicara tanpa henti, bergerak kesana kemari.
Sayangnya beberapa orang sering mencapnya “NAKAL” tak sadar kah mereka bahwa sebutan itu dapat menjadi doa, seolah mendoakan adik kecil kami yang aktif ini menjadi nakal. Mendengar hal itu dalam hati ku ucap doa ‘Rabbi, mohon jangan kabulkan doa orang ini, sayangi dan jagalah adik Iqbal kami agar selalu berada dalam lindungan Mu, Amien...’.
Baca Selengkapnya ...
Wednesday, October 13, 2010
Bakso Khalifatullah
Photo hanya ilustrasi
Emha Ainun Nadjib
Setiap kali menerima uang dari orang yang membeli bakso darinya, Pak Patul mendistribusikan uang itu ke tiga tempat: sebagian ke laci gerobagnya, sebagian ke dompetnya, sisanya ke kaleng bekas tempat roti.
“Selalu begitu, Pak?”, saya bertanya, sesudah beramai-ramai menikmati bakso beliau bersama anak-anak yang bermain di halaman rumahku sejak siang.
Maksud Bapak?” ia ganti bertanya.
“Uangnya selalu disimpan di tiga tempat itu?” Ia tertawa.
“Ia Pak. Sudah 17 tahun begini. Biar hanya sedikit duit saya, tapi kan bukan semua hak saya” “Maksud Pak Patul?”, ganti saya yang bertanya.
“Dari pendapatan yang saya peroleh dari kerja saya terdapat uang yang merupakan milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”. Aduh gawat juga Pak Patul ini.
“Maksudnya?”, saya mengejar lagi.
“Uang yang masuk dompet itu hak anak-anak dan istri saya, karena menurut Tuhan itu kewajiban utama hidup saya. Uang yang di laci itu untuk zakat, infaq, qurban dan yang sejenisnya. Sedangkan yang di kaleng itu untuk nyicil biaya naik haji. Insyaallah sekitar dua tahun lagi bisa mencukupi untuk membayar ONH. Mudah-mudahan ongkos haji naiknya tidak terlalu, sehingga saya masih bisa menjangkaunya”.
Spontan saya menghampiri beliau. Hampir saya peluk, tapi dalam budaya kami orang kecil jenis ekspressinya tak sampai tingkat peluk memeluk, seterharu apapun, kecuali yang ekstrem misalnya famili yang disangka meninggal ternyata masih hidup, atau anak yang digondhol Gendruwo balik lagi.Bahunya saja yang saya pegang dan agak saya remas, tapi karena emosi saya bilang belum cukup maka saya guncang-guncang tubuhnya.Hati saya meneriakkan
“Jazakumullah, masyaallah, wa yushlihu balakum!”
tetapi bibir saya pemalu untuk mengucapkannya.Tuhan memberi ‘ijazah’ kepadanya dan selalu memelihara kebaikan urusan-urusannya. Saya juga menjaga diri untuk tidak mendramatisir hal itu. Tetapi pasti bahwa di dalam diri saya tidak terdapat sesuatu yang saya kagumi sebagaimana kekaguman yang saya temukan pada prinsip, managemen dan disiplin hidup Pak Patul.Untung dia tidak menyadari keunggulannya atas saya: bahwa saya tidak mungkin siap mental dan memiliki keberanian budaya maupun ekonomi untuk hidup sebagai penjual bakso, sebagaimana ia menjalankannya dengan tenang dan ikhlas.Saya lebih berpendidikan dibanding dia, lebih luas pengalaman, pernah mencapai sesuatu yang ia tak pernah menyentuhnya, bahkan mungkin bisa disebut kelas sosial saya lebih tinggi darinya.Tetapi di sisi manapun dari realitas hidup saya, tidak terdapat sikap dan kenyataan yang membuat saya tidak berbohong jika mengucapkan kalimat seperti diucapkannya:“Di antara pendapatan saya ini terdapat milik keluarga saya, milik orang lain dan milik Tuhan”. Peradaban saya masih peradaban “milik saya”.
Peradaban Pak Patul sudah lebih maju, lebih rasional, lebih dewasa, lebih bertanggung jawab, lebih mulia dan tidak pengecut sebagaimana ‘kapitalisme subyektif posesif’ saya.
30 th silam saya pernah menuliskan kekaguman saya kepada Penjual cendhol yang marah-marah dan menolak cendholnya diborong oleh Pak Kiai Hamam Jakfar Pabelan karena “kalau semua Bapak beli, bagaimana nanti orang lain yang memerlukannya?” Ilmunya penjual jagung asal Madura di Malang tahun 1976 saya pakai sampai tua. Saya butuh 40 batang jagung bakar untuk teman-teman seusai pentas teater, tapi uang saya kurang, hanya cukup untuk bayar 25, sehingga harga perbatang saya tawar.Dia bertahan dengan harganya, tapi tetap memberi saya 40 jagung. “Lho, uang saya tidak cukup, Pak” “Bawa saja jagungnya, asal harganya tetap” “Berarti saya hutang?” “Ndaaak. Kekurangannya itu tabungan amal jariyah saya”. Doooh adoooh…! Tompes ako tak’iye!
Di pasar Khan Khalili semacam Tenabang-nya Cairo saya masuk sebuah toko kemudian satu jam lebih pemiliknya hilang entah ke mana, jadi saya jaga tokonya.Ketika datang saya protes: “Keeif Inta ya Akh…ke mane aje? Kalau saya ambilin barang-barang Inta terus saya ngacir pigimane dong….” Lelaki tua mancung itu senyum-senyum saja sambil nyeletuk:“Kalau mau curi barang saya ya curi saja, bukan urusan saya, itu urusan Ente sama Tuhan….”
Sungguh manusia adalah ahsanu taqwim, sebaik-baik ciptaan Allah, master-piece.Orang-orang besar bertebaran di seluruh muka bumi.Makhluk-makhluk agung menghampar di jalan-jalan, pasar, gang-gang kampung, pelosok-pelosok dusun dan di mana-manapun.
Bakso Khalifatullah, bahasa Jawanya: bakso-nya Pak Patul, terasa lebih sedap karena kandungan keagungan. Itu baru tukang bakso, belum anggota DPR. Itu baru penjual cendhol, belum Menteri dan Dirjen Irjen Sekjen. Itu baru pemilik toko kelontong, belum Gubernur Bupati Walikota tokoh-tokoh Parpol.Itu baru penjual jagung bakar, belum Kiai dan Ulama.
Sunday, September 5, 2010
Mengenang Yu Yuan
Gadis kecil duduk meringkuk kedinginan.
Ingatannya berputar – putar seperti slide show yang diputar berulang – ulang pada episode sore itu di sebuah ruangan putih besar, berderet rancang – ranjang besi, diatasnya terbaring orang – orang dengan wajah lemah tak berdaya.
Selang plastik menggantung diatas menyalurkan tetes – tetes bening dari botol infus ke jarum tajam menghujam di lengan, meninggalkan bekas tusukan – tusukan menyakitkan.
Ayahnya duduk diatas ranjang membelai sayang rambutnya yang kusam, seminggu tak keramas. Tangan satunya menggenggam tangan gadis kecil lemah tak berdaya terkulai diatas ranjang.
“Sakit nduk?”
Yang ditanya hanya menggeleng pelan sambil menyunggingkan senyum menunjukkan deretan mungil berwarna putih pucat, berharap sang ayah percaya bahwa ia tak merasakan sakit sedikitpun. Namun senyumnya malah membuat sejumput air tumpah dari mata sang ayah.
“Ayah, akan berusaha lebih giat agak kamu mendapatkan pengobatan terbaik” ucapnya dengan penekanan
“Ayah, Yuan sudah tidak sakit lagi”
“Kita pulang saja”
Sang ayah menggeleng tanda tidak setuju atas permintaan sang anak.
“Kamu boleh pulang kalau kamu sudah sembuh, ayah sedang berusaha nak”
“Ayah, jangan berkorban untuk ku,aku hanya anak yang kau pungut di tepi jalan, aku tidak berharga, orang tuaku saja tak menginginkan ku” pinta gadis kecil itu pada sang ayah.
Tentu saja permintaan itu tidak diiyakan oleh sang ayah.
“Siapa yang bilang kau tidak berharga anak ku sayang, kau anak yang baik, penurut pintar”
“Bukan kah kau ingin jadi dokter?”
“Jadi kau harus sembuh”
“Tapi Ayah...” gadis kecil itu tak bisa melanjutkan kalimatnya, sebuah cairang hangat keluar dari hidungnya. Merah pekat.
Sang ayah sigap mengambil tisyu gulung diatas meja dan membersihkan aliran darah yang keluar dari hidung putri kecilnya.
‘Tuhan, ia hanya gadis kecil yang baru berumur 8 tahun, mengapa ia harus mengalami penderitaan seberat ini’ gumannya dalam hati.
Gadis kecil duduk meringkuk diantara tumpukan kardus .
‘Ayah aku ingin mati’
Malam itu didalam kamarnya ia mendekap hidungnya yang terus mengeluarkan darah, dibalik tembok ia mendengar Istri ayahnya sedang marah.
“Apa lagi yang mau kau jual?”
“Televisi, Kulkas, perabot rumah sudah habis”
“Perhiasan ku pun menjadi korban anak pungutmu itu”
“Apa kau ingin menjual ku juga, hah?” wanita itu duduk membelakangi laki – laki berkemeja kotak kotak yang sedang menggenggam sebuah buku kecil tipis berwarna biru. Angka terakhir menunjukkan Rp. 52.399,-
“Astaghfirullah Bu, nyebut, Istighfar”
“Jangan keras – keras, Anak kita ada dikamar sebelah” kata laki – laki itu lirih, berharap sang gadis yang dimaksud sudah tidur.
“Biar dia dengar semua, biar dia tau kalau penyekit sialan itu sudah membuat kita miskin, tak punya apa – apa”
“Biar dia tahu diri, biar dia pergi minta duit sama orang tua kandungnya”
Di ruangan yang hanya terhalang tembok, gadis itu menangis dalam diam, cairan merah pekat itu tak jua berhenti mengalir, berlomba keluar dengan iar matanya. Ia tertidur dalam kesakitan.
Istri ayahnya mebawanya pulang setelah membayar biaya pengobatannya dengan uang pinjaman. Meskipun dokter malarangnya pulang.
Ia tak keberatan pulang, ia memilih menuruti kata – kata istri ayahnya. Ia tak ingin menjadi beban untuk ayahnya, sakit yang ia rasakan menjadi semakin sakit katika melihat wajah segar ayahnya dulu kini berubah menjadi kurustak terurus. Ia tak ingin ayahnya benar- benar ditinggalkan istrinya karena dia.
Gadis kecil itu tak lagi duduk meringkuk, melainkan sudah terkapar tak berdaya diatas tumpukan kardus.
Sang ayah kebingungan berlari kesana kemari mencari anaknya dibawah titik – titik air yang turun semakin deras.
Selembar photo didalam plastik bening ia tunjukan pada setiap orang yang ia temui, berharap mereka tahu keberadaan gadis kecil yang tersenyum lebar dalam photo. Dibalik photo iku tertulis sebuah pesan.
Selang plastik menggantung diatas menyalurkan tetes – tetes bening dari botol infus ke jarum tajam menghujam di lengan, meninggalkan bekas tusukan – tusukan menyakitkan.
Ayahnya duduk diatas ranjang membelai sayang rambutnya yang kusam, seminggu tak keramas. Tangan satunya menggenggam tangan gadis kecil lemah tak berdaya terkulai diatas ranjang.
“Sakit nduk?”
Yang ditanya hanya menggeleng pelan sambil menyunggingkan senyum menunjukkan deretan mungil berwarna putih pucat, berharap sang ayah percaya bahwa ia tak merasakan sakit sedikitpun. Namun senyumnya malah membuat sejumput air tumpah dari mata sang ayah.
“Ayah, akan berusaha lebih giat agak kamu mendapatkan pengobatan terbaik” ucapnya dengan penekanan
“Ayah, Yuan sudah tidak sakit lagi”
“Kita pulang saja”
Sang ayah menggeleng tanda tidak setuju atas permintaan sang anak.
“Kamu boleh pulang kalau kamu sudah sembuh, ayah sedang berusaha nak”
“Ayah, jangan berkorban untuk ku,aku hanya anak yang kau pungut di tepi jalan, aku tidak berharga, orang tuaku saja tak menginginkan ku” pinta gadis kecil itu pada sang ayah.
Tentu saja permintaan itu tidak diiyakan oleh sang ayah.
“Siapa yang bilang kau tidak berharga anak ku sayang, kau anak yang baik, penurut pintar”
“Bukan kah kau ingin jadi dokter?”
“Jadi kau harus sembuh”
“Tapi Ayah...” gadis kecil itu tak bisa melanjutkan kalimatnya, sebuah cairang hangat keluar dari hidungnya. Merah pekat.
Sang ayah sigap mengambil tisyu gulung diatas meja dan membersihkan aliran darah yang keluar dari hidung putri kecilnya.
‘Tuhan, ia hanya gadis kecil yang baru berumur 8 tahun, mengapa ia harus mengalami penderitaan seberat ini’ gumannya dalam hati.
Gadis kecil duduk meringkuk diantara tumpukan kardus .
‘Ayah aku ingin mati’
Malam itu didalam kamarnya ia mendekap hidungnya yang terus mengeluarkan darah, dibalik tembok ia mendengar Istri ayahnya sedang marah.
“Apa lagi yang mau kau jual?”
“Televisi, Kulkas, perabot rumah sudah habis”
“Perhiasan ku pun menjadi korban anak pungutmu itu”
“Apa kau ingin menjual ku juga, hah?” wanita itu duduk membelakangi laki – laki berkemeja kotak kotak yang sedang menggenggam sebuah buku kecil tipis berwarna biru. Angka terakhir menunjukkan Rp. 52.399,-
“Astaghfirullah Bu, nyebut, Istighfar”
“Jangan keras – keras, Anak kita ada dikamar sebelah” kata laki – laki itu lirih, berharap sang gadis yang dimaksud sudah tidur.
“Biar dia dengar semua, biar dia tau kalau penyekit sialan itu sudah membuat kita miskin, tak punya apa – apa”
“Biar dia tahu diri, biar dia pergi minta duit sama orang tua kandungnya”
Di ruangan yang hanya terhalang tembok, gadis itu menangis dalam diam, cairan merah pekat itu tak jua berhenti mengalir, berlomba keluar dengan iar matanya. Ia tertidur dalam kesakitan.
Istri ayahnya mebawanya pulang setelah membayar biaya pengobatannya dengan uang pinjaman. Meskipun dokter malarangnya pulang.
Ia tak keberatan pulang, ia memilih menuruti kata – kata istri ayahnya. Ia tak ingin menjadi beban untuk ayahnya, sakit yang ia rasakan menjadi semakin sakit katika melihat wajah segar ayahnya dulu kini berubah menjadi kurustak terurus. Ia tak ingin ayahnya benar- benar ditinggalkan istrinya karena dia.
Gadis kecil itu tak lagi duduk meringkuk, melainkan sudah terkapar tak berdaya diatas tumpukan kardus.
Sang ayah kebingungan berlari kesana kemari mencari anaknya dibawah titik – titik air yang turun semakin deras.
Selembar photo didalam plastik bening ia tunjukan pada setiap orang yang ia temui, berharap mereka tahu keberadaan gadis kecil yang tersenyum lebar dalam photo. Dibalik photo iku tertulis sebuah pesan.
“Ayah, jangan kuatir aku akan baik – baik saja,
Ayah, maafin aku yang buat ayah sedih,
Aku tidak mau melihat ayah sedih lagi,
Ayah...
Aku sayang sama ayah”
Ayah, maafin aku yang buat ayah sedih,
Aku tidak mau melihat ayah sedih lagi,
Ayah...
Aku sayang sama ayah”
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Mengenang Yu Yuan
Aku pernah datang dan aku sangat penurut”
Suci
Wonoayu, 6 Septembar 2010 11.17
Baca Selengkapnya ...
Subscribe to:
Posts (Atom)