Tuesday, September 13, 2011
[Kesan Pertama] Kupinang Kau Dengan Bismillah
Friday, June 11, 2010
Thank You
Awal lihat iklan drama ini di tivi sebenarnya tidak terlalu berminat, gara – gara judulnya ”Thank You” rasanya kok terlalu biasa dan sama sekali tidak menarik. Tapi karena jam segitu adalah jam – jam prime time dan sebagian besar televisi kita menyiarkan sinetron aku tidak punya pilihan lain selain menontonnya. Apalagi aku termasuk “Korean drama addict”, meski awalnya tidak terlalu banyak berharap pada drama ini, ya kupikir ini drama biasa, mungkin drama komedi. Tapi dugaan ku meleset, di episode pertama mataku langsung dibuat berurai air mata.
Cerita ini berawal dari kematian kekasih dokter Min Ge Seo. Sebelum meninggal sang kekasih memintanya untuk menyampaikan maaf pada sebuah keluarga, yang karena kekurangtelitiannya ia telah menyebkan seorang gadis kecil kerkena HIV/AIDS.
Yang ku suka dari drama korea adalah selalu ada pesan yang disampaikan, di film ini pesannya sangat mengena, dan cukup mendidik penonton mengenai proses penularan HIV/AIDS. Bahwa HIV/AIDS tidak mudah menular hanya karena mereka hidup dan tinggal bersama pengidap HIV/AIDS.
Kembali pada cerita drama berjudul “Thank You”, setelah kematian kekasihnya dan keputusan kontroversinya, memaksa mengoperasi kekasihnya yang sekarat, ia memutuskan untuk keluar dari rumah sakit dan membantu Ibunya dalam mengelola bisnis. Ia mendapat tugas dari Ibunya membantu salah satu karyawan terbaiknya untuk melakukan riset di sebuah pulau untuk nantinya akan membangun resort di sana, kampong halaman sang karyawan terbaik.
Di pulau biru itu dokter Min tidak sengaja bertemu seorang kakek menggendong boneka teddy, ia mengenali boneka tersebut adalah boneka yang dibeli kekasihnya untuk gadis pengidap HIV/AIDS sesaat sebelum kematiannya. Ia berusaha mengambil boneka tersebut namun usahanya malah membuatnya terikat pada keluarga tersebut.
Sebuah keluarga kecil yang terdiri dari seorang Perempuan muda yang harus menghidupi keempat anggota keluarga lainnya, seorang gadis kecil super duper aktif namun sangat cerdas bernama Lee Bom, seorang adik laki-laki yang tengah menempuh pendidikan diluar pulau dan kakek pikun.
Sampai suatu ketika pada moment yang sangat menyentuh ia menemukan Lee Bom mimisan, sang Ibu tidak beranjak membantu membersihkan hidungnya ia juga melarang Suk Hyun yang saat itu berada disana membantu Lee Bom. Sang Ibu Lee Yung Shin malah mengingatkan Lee Bom peraturan yang harus selalu diingat Lee Bom saat berdarah. Bahwa ia tidak boleh menerima bantuan dari siapa pun juga kecuali Ibu dan gurunya. Dokter Min yang melihat kejadian tersebut dari jauh ingat akan pesan mendiang kekasihnya dan menyadari bahwa Le Bom lah gadis kecil yang dimaksud kekasihnya.
Suk Hyun sang karyawan terbaik adalah cinta pertama Lee Yung Shin, terkejut menemukan Lee Young Shin memiliki seorang anak, ia mulai berfikir mungkin kah Lee Bom adalah anaknya, namun Yung Shin menyangkal dan mengatakan bahwa Lee Bom bukan anak Suk Hyun. Ibu Suk Hyun mengetahui keadaan itu menyodorkan beberapa laki – laki untuk Yung Shin dan mengancam akan mengusir keluarganya.
Yung Shin bisa saja pergi dari pulau itu, namun kakeknya tidak mau pergi dari pulau karena anak dan istrinya meninggal di laut, dengan terpaksa ia menyetujui rencana Ibu Suk Hyun, perjodohan yang pertama gagal sebab Tuan Park tak sanggup merawat kakek pikun dan Lee Bom yang cerewet.
Perjodohan selanjutnya digagalkan Dokter Min karena laki – laki itu mata keranjang dan hanya menginginkan kebun jeruk Yung Shin. Saat itulah Dokter Min menyadari bahwa Ia telah jatuh cinta pada Ibu Lee Bom. Namun Yung Shin seorang single parent dan belum pernah menikah merasa dokter Min terlalu bagus untuknya yang hanya perempuan desa.
Tiap – tiap moment dalam drama ini digarap begitu indah dan menyentuh, melihat perubahan seorang dokter terkenal yang sombong dan acuh menjadi malaikat pelindung sebuah keluarga kecil di pulau pelosok.
Cara dokter Min mengangkat kepercayaan diri Yung Shin sangat mengagumkan. Ia tidak sepenuhnya membantu Yung Shin dalam menyelesaikan setiap permasalah yang Yung Shin hadapi ketika penduduk desa mengetahui Lee Bom mengidap HIV, tapi ia membuat Yung Shin bangkit dan berdiri dengan kakinya sendiri, meyakinkan Yung Shin bahwa Lee Bom sama dengan anak – anak yang lain, ia hanya berbeda. Seperti ada anak yang punya kaki lebih pendek, berhidung juling, dan Lee Bom berbeda karena mengidap HIV.
Yung Shin pun berubah, dari seorang perempuan baik hati, rendah diri dan biasa menerima semua perlakuan dari orang – orang disekitarnya, kini berdiri didepan orang – orang desa dan mengatakan semua keyakinannya.
Drama ini sendiri menerima penghargaan dari salah satu lembaga di dunia karena telah mengangkat isu social tentang HIV/AIDS, “Thank You” juga telah melakukan pendidikan pada penonton untuk tidak mengucilkan para penderita HIV/AIDS.
Disamping ceritanya yang sangat bagus (menurut saya) banyak sekali pesan moral yang diberikan, yang sangat jarang sekali ditemukan jika menonton sinetron kita yang monoton melulu tentang cinta beda kasta, dimana pemeran antagonisnya dibuat seolah – olah tak memiliki hati nurani dan peran prontagonisnya ditakdirkan selalu menerima dengan ikhlas semua peristiwa tidak menyenangkan yang ditujukan padanya, bahkan ada satu sinetron yang dengan sangat menjengkelkan sang tokoh utama diplot sangat lugu dan bodoh, takut untuk bersuara hanya karena dipelototi. Fuih…
Semoga dikemudian hari muncul sineas – sineas dan tokoh – tokon persinetronan di negeri ini yang lebih bertaggung jawab dan dengan bijak menyuguhkan tontonan yang lebih mendidik, bermutu dan berkualitas. Tak hanya mementingkan komersialisme.
Semoga bukan mimpi disiang bolong.
Wonoayu, 16.19
Jumat, 11 Juni 2010
Thursday, November 5, 2009
KESEDERHANAAN YANG MEMESONA: EMAK INGIN NAIK HAJI
Jika anda adalah seorang Hollywood movie's freak, maka jangan pernah membayangkan film EMAK INGIN NAIK HAJI adalah sebuah film yang menawarkan adegan berbumbu baku tembak yang heboh. Atau diselipi adegan spektakuler alien turun ke bumi, khas Hollywood. Atau ketitipan sedikit adegan thriller yang membuat jantung anda berdebar sangat kencang. Tentu saja tidak ada, karena ini adalah film drama murni. Murni memotret masalah-masalah sosial warga kebanyakan di Indonesia.
Jika anda seorang Bollywood movie's freak, maka jangan pernah membayangkan dalam film EINH ini akan menemukan adegan ber-lebay-lebay. Atau anda akan menjumpai dialog-dialog sangat panjang (layaknya dialog khas sinetron yang 'gentayangan' di layar kaca), atau pun disuguhi scoring music yang 'berlebihan.'
Jujur, ketika saya mengetahui bahwa cerpen Mba Asma Nadia yang berjudul EMAK INGIN NAIK HAJI -yang dimuat di Majalah An Noor di tahun 2007 dan telah saya baca juga- sukses memprovokasi seorang sutradara muda potensial bernama Aditya Gumay untuk memfilmkannya, saya menjadi sangat-sangat tertarik pada hasil akhir pembuatan film ini.
Bagi saya yang saat ini sedang belajar menulis novel dengan rumus SHOWING not TELLING, lalu menemukan fakta bahwa Aditya Gumay tertarik memfilmkannya, sungguh membuat saya penasaran penuh tanya, "Akankah film ini sanggup mengembangkan ide cerita yang ditulis Mba Asma hanya dalam beberapa halaman tersebut menjadi sebuah film utuh yang sama menyentuhnya dengan versi cerpennya?"
Beberapa film adaptasi novel bertema relijius yang telah lebih dahulu difilmkan di mata saya terasa kedodoran dalam memindahkan teks -yang memang sangat tebal dengan banyak tokoh dan konflik- ke ruang seni tiga dimensi yang terbatas waktunya.
Maka Aditya Gumay telah mengambil resiko sebaliknya, yaitu 'memuaikan' cerpen yang pendek menjadi sebuah film dengan durasi sekitar 90 menit.
Setahu saya ini adalah hal baru di Indonesia. Ide sebuah film diangkat dari sebuah cerpen. Interesting!
Maka saya pun 'tak berani' berharap banyak terhadap film ini. Takut 'kecewa' lagi.
Saya tak punya ekspektasi apapun atas film ini, kecuali kesadaran saya bahwa cerpen yang ditulis Mba Asma bagus dan menyentuh saya :-)
***
CATATAN SEDERHANA DARI HATI
Film langsung diputar setelah sambutan diberikan secara singkat oleh Mas Putut Wijanarko -mewakili Mizan Productions- dan Aditya Gumay selaku sutradara.
Tanpa berlama-lama, adegan pembuka langsung mengantarkan penonton untuk 'berkenalan' dengan para tokoh utama, berikut konflik mereka masing-masing.
Di adegan awal ini, saya langsung menyukai 'furniture' dan 'setting tempat' yang dipakai oleh Aditya. Nampak ALAMI. Menghidupkan film seketika.
Dengan kokoh film bertutur tentang tokoh Emak lansia yang welas asih pada anaknya yang bernama Zein. Emak penyabar ini sedang 'menabung' mimpi. Ingin pergi ke Mekah menunaikan rukun Islam yang kelima. Sementara kemiskinan yang membelit mereka tak mampu jua mewujudkan cita-cita Emak. Bertahun-tahun Emak membuat kue dan menjualnya di pasar, apa daya ongkos naik haji selalu naik secara signifikan setiap tahunnya. Sehingga impian terasa semakin utopis!
Ironisnya, tetangga sebelah rumah mereka yang kaya raya justru bolak balik ke tanah suci.
Adegan di atas juga digambarkan dengan pas. Tak berlebihan di mata saya :-)
Bahkan, beberapa dialog terasa 'mencubit-cubit' hati saya.
Adegan kemudian berpindah. Melukiskan dialog antara seorang sekretaris dengan seorang anggota partai politik yang 'sibuk' mempersiapkan haji politisnya.
Adegan ini pun tak lebay. Semua terasa proporsional. Jujur tanpa tedeng aling-aling 'menyindir' perilaku haji atas nama gengsi sosial sebagian pemeluk yang mengaku beragama Islam di negeri ini.
Saya semakin larut dalam film 'sederhana' ini.
Saya terhanyut dalam pusaran konflik masing-masing tokohnya (yang tentu saja tak saling berhubungan), hingga kemudian emosi saya mencuat.
Pun saya dihempas berkali-kali, bahkan digedor dengan 'keras' oleh indahnya sikap tulus Emak dan rapuhnya 'jiwa binatang' berkedok manusia!
Hingga tanpa saya sadari, setitik bening mengalir berkali-kali dari sudut mata saya. Saya tak ingin menghapusnya. Saya ingin menikmati film 'sederhana' yang disuguhkan dengan indah ini sepenuh jiwa.
Aaah, syahdu...
Saya menoleh ke kiri dan kanan saya, hehehe... semua ternyata merasakan hal yang sama, terbukti dari adanya genangan di sudut mata mereka :-)
Sepanjang film diputar, saya sempat berbisik ke orang yang di samping saya untuk menebak ending cerita. Kami sempat 'berdiskusi kecil' menebak sebuah adegan sebagai ending cerita, dan kami fikir, sungguh biasa jika ending klimaksnya seperti itu.
Ternyata...
Saya salah duga!
Endingnya agak di luar dugaan saya!
(Hehehe..., atau saya memang penonton yang sungguh sederhana?)
Wah! Film bertema 'sederhana' ini menjadi tak sederhana lagi di mata saya :-)
Bravo Mas Aditya!
Saya melanjutkan menatap layar besar di hadapan saya. Tiba-tiba saja film ini sudah 'selesai!'
Lalu tepuk tangan terdengar MEMBAHANA. Berkali-kali.
Benar-benar 'membangunkan' saya, bahwa film 'sederhana' ini telah selesai...!
Sungguh enggan rasanya meninggalkan kursi saya. Saya masih ingin menonton akting cantik Emak 'Ati Kanser', juga masih ingin menatap kerennya ekspresi Reza Rahardian yang semakin 'berkembang' dan manisnya narasi liris yang dituturkan Emak.
Di mata saya, Emak dan Zein sukses menciptakan chemistry Ibu dan Anak yang saling mencintai. Sampai-sampai saya merasa tak percaya, bahwa mereka sesungguhnya hanya bermain peran, bukan Ibu dan Anak sungguhan.
*Ah, berhentilah mengetik, Ima, resensi ini akan menjadi sangat panjang dan tidak menjadi resensi lagi, jika kamu tak berhenti! Atau kamu akan tergoda menceritakan spoiler-spoiler yang tentu saja akan merugikan produser, hehehe...*
"Btw, Mas Aditya, saya tunggu loh film-filmmu yang berikutnya!" :-D
Whuah!
I want more...
I want more...!!!
***
Pros:
- Sepertinya pelaku industri perfilman di Indonesia masih harus belajar dengan Hollywood dan Bollywood jika ingin memasukkan 'pesan sponsor/iklan' di dalam sebuah film. Karena advertisement yang terlalu mencolok akan mengurangi keindahan sinematografi.
Cons:
- Saya menikmati dialog-dialog singkat-padat, kadang juga cerdas dan 'lucu'.
- Setting-nya boleh dibilang 'sempurna'! Aditya adalah sutradara yang detail.
- Film ini 'bertumbuh' secara alami. Pertentangan batin para tokoh dan perubahan- perubahannya pun digambarkan dengan alami.
***
Karena saya 'kebetulan' terpilih menjadi salah satu penonton pertama di bioskop FX Senayan hari ini, saya ingin bilang:
Jika kamu ingin menyaksikan indahnya lukisan cinta seorang anak pada ibunya, tontonlah film ini.
Jika kamu bosan dengan film Indonesia bertema sejenis yang 'itu-itu' saja, tontonlah film ini.
Jika kamu ingin menonton film dengan budjet minim, tapi dibuat dengan HATI dan hasilnya keren, tontonlah film ini.
Jika kamu 'terlupa' atau tak merasakan kasih sayang seorang Ibu, maka tontonlah film ini. Karena saya percaya, film genre drama keluarga yang akan everlasting ini dibuat sebagai kado istimewa untuk para Ibu.
Dan..., jika kamu mengakui ketimpangan sosial di negeri ini dan ingin 'diwakili', tontonlah film ini.
Film ini insyaAllah akan melautkan debur batinmu, memeluk gelisah anak jiwamu, menentramkan kemanusiaanmu. Mengembalikanmu pada fitrah: peduli pada sesama.
sumber asli:
http://imazahra.multiply.com/reviews/item/8/EMAK_INGIN_NAIK_HAJI?replies_read=72
Wednesday, February 11, 2009
Perempuan Berkalung Sorban
Tulisan ini disusun sebagai bahan “panduan” dalam tatanan pemikiran bagi siapa saja yang sudah maupun yang akan menonton film Perempuan Berkalung Sorban. Beberapa catatan yang saya maksud yaitu :
1. Kita harus menerima bahwa film ini memang menggambarkan realita yang ada di Indonesia mulai dari pemahaman maupun pelaksanaan hukum Islam serta perdebatan seputarnya sampai tradisi yang dibangun di pesantren tertentu
2. Film ini sekali lagi menjadi kampaye faham Liberalisme (kebebasan). Kembali diangkat isu-isu tentang ruang lingkup aktivitas perempuan. Antara peran domestik perempuan dan hak publiknya (luar rumah). Konsep pernikahan dimana laki-laki sebagai pemimpin kembali digugat. Melalui film ini sangat kental propaganda faham kesetaraan gender laki-laki dan perempuan, sampai hak pengajuan cerai tidak luput mendapatkan sorotan. Praktek poligami menjadi sasaran selanjutnya. Dengan menggambarkan praktek yang buruk dari laki-laki yang melaksanakan poligami melalui film ini kembali diopinikan bahwa dengan poligami perempuanlah yang menjadi korban. Sebuah kampanye khas aktivis perempuan liberal. Terakhir adalah gugatan terhadap institusi pesantren yang diopinikan sebagai sebuah lembaga yang zumud dan melestrarikan keterbelakangan pemikiran.
3. Kesalahan fatal dari visi film ini adalah mengkritisi fakta pada point 2 diatas dengan kacamata ideologi kebebasan. Film ini sungguh tidak bisa menjadi alat menilai bahwa ada yang salah dari pemikiran-pemikiran Islam. Kenapa ? karena sebenarnya khazanah pemikiran Islam yang sudah ada melalui karya para ulama yang terpercaya sudah menjawab dengan tuntas persoalan-persoalan yang “dipertanyakan” melalui film ini. Melalui film ini tidak ada upaya melakukan “studi literatur” terhadap literatur-literatur ulama yang terpercaya itu. Film ini justru menjadikan literatul-literatur liberal dan sosialis sebagai acuannya. Dengan jelas buku-buku Pramoedya Ananta Toer di perlihatkan sebagai ”kitab” yang menjadi jawaban ”kezumudan” pemahaman Islam yang ada.
4. Ditengah isu invasi militer Zionis Yahudi ke kawasan Gaza film ini menjadi bentuk invasi pada level pemikiran yang kembali dikeluarkan. Kalau Imam Syafi’i pernah mengharamkan non ulama untuk belajar ilmu filsafat, sebagai syafiiyah saya juga memberikan warning yang sangat kuat bagi siapa pun yang menonton film ini, jeratan pemikiran sesat yang coba diopinikan melalui film ini sangat halus dan bisa membuat kita tertarik membenarkan jika bangunan pemikiran Islam kita belum kokoh seperti menjulangnya gunung.
5. Disinilah arti pentingnya kita memiliki kesadaran idelogi Islam. Negeri ini memang belum dipilih untuk menjadi sasaran invasi militer. Tetapi sungguh, saat ini kita sudah berada di medan perang pada level pemikiran. Sahabat.,,. Sungguh telah saya sampaikan peringatan yang nyata ini. Ya Alloh sudah saya sampaikan, maka saksikanlah.
copas dari:http:/www.facebook.com/note.php?note_id=51039266970
Milis Kafemuslimah
Sunday, April 13, 2008
Melawan “Fitna” Dengan “Ayat-ayat Cinta”
Posted by: "Atmoon" atmoon.geo@yahoo.com atmoon.geo
taken from milist myquran
Tadi malam (10/4/08) saya nonton perdebatan seru di Acara Padamu Negeri yang disiarkan oleh Metro TV. Acara itu menghadirkan tiga kelompok peserta yaitu dari Mahasiswa IKJ, Komunitas Islam Liberal, dan Komunitas Pengamat Film Matahari (lupa nih tau bener nggak namanya). Diskusi yang cerdas itu dihadiri oleh nara sumber Prof Komaruddin Hifayat dan salah seorang pengamat perfileman yang saya lupa namanya.
Topik yang didiskusikan adalah tentang Film Fitna yang belum lama beredar menjadi perbincangan dan menuai banyak protes dari berbagai kalangan, baik dari Umat Islam maupun bukan. Yang dibincangkan dalam diskusi sangat menarik. Masing-masing pihak, dipandu dengan hasil pooling sebagai pengarah diskusi, menuangkan argumentasinya. Ada yang cerdas dan pandangannya menyeluruh dan ada juga yang sangat reduksionis.
Yang sagat saya sayangkan pandangan Islam Liberal justru termasuk kelompok
pandangan yang reduksionis itu sehingga seorang peserta menampik latar belakang motivasional yang sebenarnya sangat penting dalam mendiskusikan suatu hasil karya apapun juga. Untungnya, nara sumber yang menjadi penengah yang berasal dari kalangan pengamat perfilman menjelaskan dengan gamblang kalau sisi motivasional dalam menilai suatu karya film maupun karya apapun juga sangat penting. Demikian juga ketika menilai film Fitna dan alasan dari pembuatnya yaitu politikus sayap kanan Belanda yang ternyata jauh-jauh hari sebelum film itu dibuat melakukan 41 satu kali kunjungan ke negara Israel yang sampai hari ini bergolak. Jadi, latar belakang psikologis di pembuat film sangat penting diketahui untuk mencari tahu motif yang melatarbelakanginya. Jawaban yang jitu itu memang akhirnya bisa menjelaskan kalau meskipun faktanya sedikit sebenarnya seseorang dapat menarik kesimpulan dari suatu karya seseorang dengan mengetahui riwayat historis pembuatnya, dna demikian sisi psikologisnya. Jadi ilmu untuk mencari motifasi dengan meneliti sejarah riwayat hidup si pembuat karya akan mengungkap motif dasar sebenarnya. Sebenarnya ilmu ini bagian dari ilmu psikologi dan sudah jamak diketahui karena filmnya sudah dibuat sebagai film thriller yaitu Profiler. Saya heran sekaligus terkejut kalau cara berpikir seseorang dari kalangan intelek Islam Liberal bisa menjadi sangat reduksionis padahal banyak hal bisa diungkapkan dengan meneliti background seseorang. Mungkin kuper aja yang ikut diskusi, pikir saya sambil terus menikmati diskusi tersebut.
Sebenarnya saya menunggu-nungu suatu ide cemerlang yang sederhana dari kalangan perfileman khususnya dari kalangan mahasiswa IKJ yang ikut serta dalam diskusi. Tapi sampai akhir diskusi ide sederhana tersebut nampaknya tidak terlintas di pikrian peserta diskusi.
Ide yang saya maksud sebenarnya berhubungan dengan teknik perfileman itu sendiri yaitu bisakah film Fitna disebut sebuah karya seni film? Kalau bisa apa yang menjadi patokannya dan kalau tidak apa yang menyebabkan film itu menjadi super heboh dan memberikan dampak luas meskipun filmnay berkualitas rendah secara teknis? Tujuan pertanyaan itu sebenarnya akan mengarah pada peran media massa dan histeria massa dari kalangan umat Islam sendiri yang nampaknya emosinya masih tidak stabil dan mudah terpancing dengan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu banyak diributkan. Tapi
ini zaman internet bung! Pikir saya, jadi kepopuleran film Fitna sebenarnya memang disengaja sebagai promosi negatif dengan memanfaatkan internet meskipun dari segi kualitas seni film sebenarnya tidak layak menjadi kajian insan perfileman. Namun, dari segi dampak dan akibatkannya, karena publikasi media massa yang semakin terbuka dan meluas dengan internet, menjadi menarik perhatian. Sekilas kesimpulan ini muncul dari peserta diskusi yang berasal dari kalangan film. tetapi hanya sebatas penjelasan kalau banyak yang bisa diperbuat oleh sebuah film, tanpa memberikan kriteria film yang bagaimana? Jadi, dimensi etik dan moral dan hubungannya dengan karya seni luput dari perhatian dalam diskusi yang memang sangat singkat, padat dan terarah oleh polling itu dimana kesimpulan umumnya film itu biarkan saja beredar tak perlu dibredel.
Menyangkut film, pikiran saya kemudian melayang ke ide kedua yang luput dalam diskusi tersebut yaitu film Ayat-ayat Cinta sebagai pembanding langsung sekaligus tandingan langsung antara film propaganda dan film hiburan yang mempunyai nilai estetika dan tentu saja mempunyai agenda yang jelas dan memberikan keuntungan finansial.
Berbeda dengan film Fitna yang membuat hingar bingar emosional banyak kalangan, maka film Ayat-ayat Cinta juga membuat hingar bingar dengan tambahan mengharu biru karena kisahnya menarik banyak penonton dan membangun imajinasi yang indah tentang kehidupan dan cinta kasih sesama manusia.
AAC juga diminati oleh berbagai kalangan. Bahkan, menurut catatan beberapa milis yang sempat mencatat berbagai komentar film Ayat-ayat Cinta, berbagai komentar datang bukan saja dari Indonesia, tapi juga berbagai media masa di luar Indonesia seperti di Australia, Timur Tengah dan negara lainnya. Komentar tentang film ini dapat dilihat di tulisan saya terakhir di Blog dengan judul Ketika Cinta Mengalahkan Horror (http://atmoon.multiply.com). Tulisan iseng itu hanya mengulas suatu tanda kalau film2 Horror di Indonesia mungkin dalam beberapa waktu mendatang akan menghilang dan digantikan dengan film Cinta.
Keberhasilan secara kreatif, hiburan dan finansial yang disajikan oleh AAC sebenarnya merupakan kebalikan dari film Fitna yang berhasil dari sisi membuat kehebohan di dunia. Sisi positif mungkin hanya bisa muncul jika Umat Islam sendiri mampu mengambil hikmah dan pelajaran bahwa di balik kebencian yang dipertontonkan kepada Umat islam terdapat hikmah juga asalkan Umat sadar secara teknis maupun konseptual kalau film Fitna dan media internet hanyalah sekedar alat semata yang dapat diekpoitasi oleh siapa saja. The man behind the gun.
Film Ayat-ayat Cinta yang populer kalau penonton dan pembuatnya sadar sebenarnya dapat digunakan sebagai sarana untuk mengcounter film Fitna dengan cara yang elegan dimana nilai-nilai universal Umat Islam sejatinya adalah Cinta Kasih pada semua makhluk seperti dicantumkan dalam Ummul Kitab al-Qur'an yaitu Kalimat Bismillahir al-Rahmaan al-Rahiim. Poin inilah yang lupus di ulas lebih jauh dalam diskusi-diskusi film Fitna sampai-sampai lupa kalau film tandingan untuk mengcounter dampak Film Fitna adalah Film Ayat-ayat Cinta. Setidaknya, AAC menjadi salah satu saja cara untuk mengcounter propaganda negatif.
Sejauh ini saja belum membaca komentar dan ulasan dari media massa Eropa atau Amerika yang mengulas film Ayat-ayat Cinta. Mudah-mudahan ada pihak-pihak yang benar-benar menyadari pentingnya pemutaran fil AAC di publik Eropa maupun Amerika untuk meredam kehebohan film Fitna . Film AAC menampilkan sisi lain dari Umat Islam yang jarang ditampilkan yaitu pokok pangkal al-Qur'an sendiri yaitu Cinta sebagai Rahmaat yang tidak lain adalah bentuk-bentuk tafsiran mental dari Firman Bismillahir al-Rahman al-Rahim.
Mari kita tunggu siapa yang berani memutar film Ayat-ayat Cinta di Belanda dan negara Eropa lainnya maupun di Amerika, kan disana banyak komunitas Islam juga. Jadi, kalau di putar disana , jika tak ada diskriminasi, saya percaya kalau cara-cara penyampaiannya tepat, promosinya, perencanaan penayangannya direncanakan dengan matang, AAC pasti untung dan bisa mengguncangkan hati semua manusia dimana saja, bukan saja di Eropa sebagai target operasi penayangan AAC tapi di seluruh muka bumi ini yang hakikatnya adalah buah dari suatu Cinta Yang Lebih Luhur yaitu Cinta Ilahi untuk menampilkan bukti yang nyata kalau Kehidupan Yang Berkualitas dengan adanya Cinta Kasih Universal adalah Utusan Allah, Yang Maha Esa, Yang Nyata, Yang Maha Hidup.
@mnadi
personal blog : http://atmoon.multiply.com
fav website : http://www.myquran.com