Sunday, September 5, 2010

Mengenang Yu Yuan





Gadis kecil duduk meringkuk kedinginan.

Ingatannya berputar – putar seperti slide show yang diputar berulang – ulang pada episode sore itu di sebuah ruangan putih besar, berderet rancang – ranjang besi, diatasnya terbaring orang – orang dengan wajah lemah tak berdaya.

Selang plastik menggantung diatas menyalurkan tetes – tetes bening dari botol infus ke jarum tajam menghujam di lengan, meninggalkan bekas tusukan – tusukan menyakitkan.

Ayahnya duduk diatas ranjang membelai sayang rambutnya yang kusam, seminggu tak keramas. Tangan satunya menggenggam tangan gadis kecil lemah tak berdaya terkulai diatas ranjang.

“Sakit nduk?”

Yang ditanya hanya menggeleng pelan sambil menyunggingkan senyum menunjukkan deretan mungil berwarna putih pucat, berharap sang ayah percaya bahwa ia tak merasakan sakit sedikitpun. Namun senyumnya malah membuat sejumput air tumpah dari mata sang ayah.


“Ayah, akan berusaha lebih giat agak kamu mendapatkan pengobatan terbaik” ucapnya dengan penekanan

“Ayah, Yuan sudah tidak sakit lagi”

“Kita pulang saja”

Sang ayah menggeleng tanda tidak setuju atas permintaan sang anak.

“Kamu boleh pulang kalau kamu sudah sembuh, ayah sedang berusaha nak”

“Ayah, jangan berkorban untuk ku,aku hanya anak yang kau pungut di tepi jalan, aku tidak berharga, orang tuaku saja tak menginginkan ku” pinta gadis kecil itu pada sang ayah.

Tentu saja permintaan itu tidak diiyakan oleh sang ayah.

“Siapa yang bilang kau tidak berharga anak ku sayang, kau anak yang baik, penurut pintar”

“Bukan kah kau ingin jadi dokter?”

“Jadi kau harus sembuh”

“Tapi Ayah...” gadis kecil itu tak bisa melanjutkan kalimatnya, sebuah cairang hangat keluar dari hidungnya. Merah pekat.

Sang ayah sigap mengambil tisyu gulung diatas meja dan membersihkan aliran darah yang keluar dari hidung putri kecilnya.

‘Tuhan, ia hanya gadis kecil yang baru berumur 8 tahun, mengapa ia harus mengalami penderitaan seberat ini’ gumannya dalam hati.

Gadis kecil duduk meringkuk diantara tumpukan kardus .

‘Ayah aku ingin mati’

Malam itu didalam kamarnya ia mendekap hidungnya yang terus mengeluarkan darah, dibalik tembok ia mendengar Istri ayahnya sedang marah.

“Apa lagi yang mau kau jual?”

“Televisi, Kulkas, perabot rumah sudah habis”

“Perhiasan ku pun menjadi korban anak pungutmu itu”

“Apa kau ingin menjual ku juga, hah?” wanita itu duduk membelakangi laki – laki berkemeja kotak kotak yang sedang menggenggam sebuah buku kecil tipis berwarna biru. Angka terakhir menunjukkan Rp. 52.399,-

“Astaghfirullah Bu, nyebut, Istighfar”

“Jangan keras – keras, Anak kita ada dikamar sebelah” kata laki – laki itu lirih, berharap sang gadis yang dimaksud sudah tidur.

“Biar dia dengar semua, biar dia tau kalau penyekit sialan itu sudah membuat kita miskin, tak punya apa – apa”

“Biar dia tahu diri, biar dia pergi minta duit sama orang tua kandungnya”

Di ruangan yang hanya terhalang tembok, gadis itu menangis dalam diam, cairan merah pekat itu tak jua berhenti mengalir, berlomba keluar dengan iar matanya. Ia tertidur dalam kesakitan.

Istri ayahnya mebawanya pulang setelah membayar biaya pengobatannya dengan uang pinjaman. Meskipun dokter malarangnya pulang.

Ia tak keberatan pulang, ia memilih menuruti kata – kata istri ayahnya. Ia tak ingin menjadi beban untuk ayahnya, sakit yang ia rasakan menjadi semakin sakit katika melihat wajah segar ayahnya dulu kini berubah menjadi kurustak terurus. Ia tak ingin ayahnya benar- benar ditinggalkan istrinya karena dia.

Gadis kecil itu tak lagi duduk meringkuk, melainkan sudah terkapar tak berdaya diatas tumpukan kardus.

Sang ayah kebingungan berlari kesana kemari mencari anaknya dibawah titik – titik air yang turun semakin deras.

Selembar photo didalam plastik bening ia tunjukan pada setiap orang yang ia temui, berharap mereka tahu keberadaan gadis kecil yang tersenyum lebar dalam photo. Dibalik photo iku tertulis sebuah pesan.


“Ayah, jangan kuatir aku akan baik – baik saja,
Ayah, maafin aku yang buat ayah sedih,
Aku tidak mau melihat ayah sedih lagi,
Ayah...
Aku sayang sama ayah”


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Mengenang Yu Yuan
Aku pernah datang dan aku sangat penurut”



Suci
Wonoayu, 6 Septembar 2010 11.17

Baca Selengkapnya ...

Thursday, September 2, 2010

INGIN KU...



“Aku ingin mencintaimu dalam diam seperti cintanya Ali pada Fatimah dan cintanya Fatimah kepada Ali”

Aih...........

Ungkapan diatas membuatku melayang ke masa yang masih tertutup tabir. Kemana cinta ku akan ku labuhkan. ^_^

Aku ingin dicintai seperti Muhammad mencintai Khadijah, aku ingin dicintai selayaknya Ali mencintai Fatimah. Cinta yang tak terbagi. Egois yap? Masa bodo namanya juga ingin.


Tapi keinginan itu membuatku menatap diri ku, apakah aku sehangat Khadijah yang Muhammad merasa nyaman berada didekatnya. Apakah aku setangguh Fatimah hingga Ali begitu setia padanya?

Tidak sama sekali, aku tak sehangat khadijah ataupun setangguh fatimah. Tapi inilah aku, hanya seorang wanita biasa yang hidup dengan biasa, tak ada yang luar biasa pada diriku.

Kadang hal itu membuatku berfikir, apa ada keistimewaan pada diriku hingga berani menginginkan cinta seperti Muhammad dan Ali?

Tidak ada, kutegaskan lagi, tidak ada yang istimewa pada diriku, tidak ada yang luar biasa di dalam diri ini. Hanya seorang perempuan biasa, tidak lebih.

Tapi...

Kalau hanya ingin boleh dunk, toh hanya ingin. ^_^

Aku sendiri juga ga tau, apa cinta seperti itu yang ku butuhkan, karena apa yang indah dimata ku belum tentu baik untuk ku, sebaliknya apa yang terlihat tidak menyenangkan belum tentu tidak menggembirakan ku.

Dia lah Yang Maha Mengetahui apa yang dibutuhkan makhluk-Nya, termasuk apa yang baik untuk ku.

Aku hanya berharap yang terbaik, dan berusaha memperbaiki diri. Tentu tak lupa menyerahkan semua urusan ini pada Nya Sang Pembolak – Balik hati. Bukan begitu? ^_^

Semoga tabir ini segera terbuka. Amien....

^_^



Suci

Wonoayu, 3 September 2010 11.41

Baca Selengkapnya ...

DIAM




“Aku ingin mencintaimu dalam diam seperti cintanya Ali pada Fatimah dan cintanya Fatimah kepada Ali”

Sebuah ungkapan yang indah.

Mengingatkan aku pada seseorang, ia pernah berkata padaku

“Belajarlah berkomunikasi”


Ia mengatakan hal itu karena aku kerap kali diam, ketika ditelphone, dalam ym ketika ia menyapa ku bahkan bila kami bertemu.

Sampai akhirnya (mungkin) ia sudah berhenti berusaha membuatku berbicara, mengatakan apa yang ada dikepalaku.

Diam, adalah salah satu pilihan dalam hidup ku, ketika aku marah, atau ketika memang tak ada yang perlu dikatakan. Ada kalanya begitu banyak yang ingin diungkapkan, namun akan lebih baik bila hal itu tak perlu diungkapkan.

Ya, memang banyak hal yang bila diungkapkan hanya akan membawa luka, menjadi hal yang sia – sia.

Maka biarkan aku tetap dalam pilihan ku. DIAM.

Dan inilah caraku berkomunikasi, dengan ini ku harap tak banyak yang akan tersakiti oleh lidah tajam ini, dan semakin berkurang kesia-siaan yang keluar dari mulut ini.


Maka, berkatalah yang baik atau DIAM.


Suci

Wonoayu, 3 September 2010 10.51

Baca Selengkapnya ...

Wednesday, September 1, 2010

BARU



Ramdhan masih seminggu lagi, artinya Ramdhan karim segera pergi. Sesak dan sesal menyelimuti. Namun aroma Idul Fitri seolah telah sampai di ujung hidung. Hiruk pikuk persiapan lebaran mendadak mengaburkan sendu yang menyeruak kehilangan Ramadhan.

Godaan terbesar menjelang akhir Ramadhan. Malam - malam yang harusnya sibuk bermunajat menanti Lailatul Qadar dihabiskan dengan beramai - ramai mengunjungi tempat - tempat belanja, departement store dan mall - mall yang menyuguhkan mid night sale.


Iktikaf pun kini beralih lokasi, mall. Merdunya suara Qori' melantunkan ayat - ayat Al Quran terdengar lirih ditelinga dibandingkan dengan para pemilik toko yang menyerukan pesta diskon besar - besaran menyihir langkah - langkah kaki mendatanginya.

Akankah Ramadhan ini akan diakhiri dengan pesta serba baru?

Bukan hati dan semangat baru, namun baju baru, kerudung baru, sepatu baru, sandal baru, mukena baru, baju koko baru, peci baru, sarung baru. TAMPILAN BARU.

Hanya itu kah?

Perih, disaat Ramadhan kita belajar merasakan perihnya lapar saudara kita yang kekurangan, diakhiri dengan mencemooh mereka dengan TAMPILAN serba BARU yang notabene sulit mereka dapatkan.

Ramadhan, Jangan tinggalkan aku dalam keBARUan yang semu.



Suci

Wonoayu, 2 September 2009 11.29

Baca Selengkapnya ...