Thursday, November 5, 2009

KESEDERHANAAN YANG MEMESONA: EMAK INGIN NAIK HAJI



Jika anda adalah seorang Hollywood movie's freak, maka jangan pernah membayangkan film EMAK INGIN NAIK HAJI adalah sebuah film yang menawarkan adegan berbumbu baku tembak yang heboh. Atau diselipi adegan spektakuler alien turun ke bumi, khas Hollywood. Atau ketitipan sedikit adegan thriller yang membuat jantung anda berdebar sangat kencang. Tentu saja tidak ada, karena ini adalah film drama murni. Murni memotret masalah-masalah sosial warga kebanyakan di Indonesia.





Jika anda seorang Bollywood movie's freak, maka jangan pernah membayangkan dalam film EINH ini akan menemukan adegan ber-lebay-lebay. Atau anda akan menjumpai dialog-dialog sangat panjang (layaknya dialog khas sinetron yang 'gentayangan' di layar kaca), atau pun disuguhi scoring music yang 'berlebihan.'

Jujur, ketika saya mengetahui bahwa cerpen Mba Asma Nadia yang berjudul EMAK INGIN NAIK HAJI -yang dimuat di Majalah An Noor di tahun 2007 dan telah saya baca juga- sukses memprovokasi seorang sutradara muda potensial bernama Aditya Gumay untuk memfilmkannya, saya menjadi sangat-sangat tertarik pada hasil akhir pembuatan film ini.

Bagi saya yang saat ini sedang belajar menulis novel dengan rumus SHOWING not TELLING, lalu menemukan fakta bahwa Aditya Gumay tertarik memfilmkannya, sungguh membuat saya penasaran penuh tanya, "Akankah film ini sanggup mengembangkan ide cerita yang ditulis Mba Asma hanya dalam beberapa halaman tersebut menjadi sebuah film utuh yang sama menyentuhnya dengan versi cerpennya?"

Beberapa film adaptasi novel bertema relijius yang telah lebih dahulu difilmkan di mata saya terasa kedodoran dalam memindahkan teks -yang memang sangat tebal dengan banyak tokoh dan konflik- ke ruang seni tiga dimensi yang terbatas waktunya.

Maka Aditya Gumay telah mengambil resiko sebaliknya, yaitu 'memuaikan' cerpen yang pendek menjadi sebuah film dengan durasi sekitar 90 menit.

Setahu saya ini adalah hal baru di Indonesia. Ide sebuah film diangkat dari sebuah cerpen. Interesting!

Maka saya pun 'tak berani' berharap banyak terhadap film ini. Takut 'kecewa' lagi.

Saya tak punya ekspektasi apapun atas film ini, kecuali kesadaran saya bahwa cerpen yang ditulis Mba Asma bagus dan menyentuh saya :-)
***

CATATAN SEDERHANA DARI HATI

Film langsung diputar setelah sambutan diberikan secara singkat oleh Mas Putut Wijanarko -mewakili Mizan Productions- dan Aditya Gumay selaku sutradara.

Tanpa berlama-lama, adegan pembuka langsung mengantarkan penonton untuk 'berkenalan' dengan para tokoh utama, berikut konflik mereka masing-masing.

Di adegan awal ini, saya langsung menyukai 'furniture' dan 'setting tempat' yang dipakai oleh Aditya. Nampak ALAMI. Menghidupkan film seketika.

Dengan kokoh film bertutur tentang tokoh Emak lansia yang welas asih pada anaknya yang bernama Zein. Emak penyabar ini sedang 'menabung' mimpi. Ingin pergi ke Mekah menunaikan rukun Islam yang kelima. Sementara kemiskinan yang membelit mereka tak mampu jua mewujudkan cita-cita Emak. Bertahun-tahun Emak membuat kue dan menjualnya di pasar, apa daya ongkos naik haji selalu naik secara signifikan setiap tahunnya. Sehingga impian terasa semakin utopis!

Ironisnya, tetangga sebelah rumah mereka yang kaya raya justru bolak balik ke tanah suci.

Adegan di atas juga digambarkan dengan pas. Tak berlebihan di mata saya :-)
Bahkan, beberapa dialog terasa 'mencubit-cubit' hati saya.

Adegan kemudian berpindah. Melukiskan dialog antara seorang sekretaris dengan seorang anggota partai politik yang 'sibuk' mempersiapkan haji politisnya.

Adegan ini pun tak lebay. Semua terasa proporsional. Jujur tanpa tedeng aling-aling 'menyindir' perilaku haji atas nama gengsi sosial sebagian pemeluk yang mengaku beragama Islam di negeri ini.

Saya semakin larut dalam film 'sederhana' ini.

Saya terhanyut dalam pusaran konflik masing-masing tokohnya (yang tentu saja tak saling berhubungan), hingga kemudian emosi saya mencuat.

Pun saya dihempas berkali-kali, bahkan digedor dengan 'keras' oleh indahnya sikap tulus Emak dan rapuhnya 'jiwa binatang' berkedok manusia!

Hingga tanpa saya sadari, setitik bening mengalir berkali-kali dari sudut mata saya. Saya tak ingin menghapusnya. Saya ingin menikmati film 'sederhana' yang disuguhkan dengan indah ini sepenuh jiwa.

Aaah, syahdu...

Saya menoleh ke kiri dan kanan saya, hehehe... semua ternyata merasakan hal yang sama, terbukti dari adanya genangan di sudut mata mereka :-)

Sepanjang film diputar, saya sempat berbisik ke orang yang di samping saya untuk menebak ending cerita. Kami sempat 'berdiskusi kecil' menebak sebuah adegan sebagai ending cerita, dan kami fikir, sungguh biasa jika ending klimaksnya seperti itu.

Ternyata...
Saya salah duga!

Endingnya agak di luar dugaan saya!
(Hehehe..., atau saya memang penonton yang sungguh sederhana?)

Wah! Film bertema 'sederhana' ini menjadi tak sederhana lagi di mata saya :-)

Bravo Mas Aditya!

Saya melanjutkan menatap layar besar di hadapan saya. Tiba-tiba saja film ini sudah 'selesai!'

Lalu tepuk tangan terdengar MEMBAHANA. Berkali-kali.
Benar-benar 'membangunkan' saya, bahwa film 'sederhana' ini telah selesai...!

Sungguh enggan rasanya meninggalkan kursi saya. Saya masih ingin menonton akting cantik Emak 'Ati Kanser', juga masih ingin menatap kerennya ekspresi Reza Rahardian yang semakin 'berkembang' dan manisnya narasi liris yang dituturkan Emak.

Di mata saya, Emak dan Zein sukses menciptakan chemistry Ibu dan Anak yang saling mencintai. Sampai-sampai saya merasa tak percaya, bahwa mereka sesungguhnya hanya bermain peran, bukan Ibu dan Anak sungguhan.

*Ah, berhentilah mengetik, Ima, resensi ini akan menjadi sangat panjang dan tidak menjadi resensi lagi, jika kamu tak berhenti! Atau kamu akan tergoda menceritakan spoiler-spoiler yang tentu saja akan merugikan produser, hehehe...*

"Btw, Mas Aditya, saya tunggu loh film-filmmu yang berikutnya!" :-D

Whuah!
I want more...
I want more...!!!
***

Pros:

- Sepertinya pelaku industri perfilman di Indonesia masih harus belajar dengan Hollywood dan Bollywood jika ingin memasukkan 'pesan sponsor/iklan' di dalam sebuah film. Karena advertisement yang terlalu mencolok akan mengurangi keindahan sinematografi.

Cons:
- Saya menikmati dialog-dialog singkat-padat, kadang juga cerdas dan 'lucu'.
- Setting-nya boleh dibilang 'sempurna'! Aditya adalah sutradara yang detail.
- Film ini 'bertumbuh' secara alami. Pertentangan batin para tokoh dan perubahan- perubahannya pun digambarkan dengan alami.

***

Karena saya 'kebetulan' terpilih menjadi salah satu penonton pertama di bioskop FX Senayan hari ini, saya ingin bilang:


Jika kamu ingin menyaksikan indahnya lukisan cinta seorang anak pada ibunya, tontonlah film ini.

Jika kamu bosan dengan film Indonesia bertema sejenis yang 'itu-itu' saja, tontonlah film ini.

Jika kamu ingin menonton film dengan budjet minim, tapi dibuat dengan HATI dan hasilnya keren, tontonlah film ini.

Jika kamu 'terlupa' atau tak merasakan kasih sayang seorang Ibu, maka tontonlah film ini. Karena saya percaya, film genre drama keluarga yang akan everlasting ini dibuat sebagai kado istimewa untuk para Ibu.

Dan..., jika kamu mengakui ketimpangan sosial di negeri ini dan ingin 'diwakili', tontonlah film ini.

Film ini insyaAllah akan melautkan debur batinmu, memeluk gelisah anak jiwamu, menentramkan kemanusiaanmu. Mengembalikanmu pada fitrah: peduli pada sesama.

sumber asli:
http://imazahra.multiply.com/reviews/item/8/EMAK_INGIN_NAIK_HAJI?replies_read=72

1 comment:

rakaziwi said...

Wah... Saya sudah tonton ini... Film yang mengharukan, banyak cobaan dan ujian menghadang... Namun, dengan kesabaran dan tawakal, kita akan mendapat nikmat yang lebih.