Posted by: "Atmoon" atmoon.geo@yahoo.com atmoon.geo
taken from milist myquran
Tadi malam (10/4/08) saya nonton perdebatan seru di Acara Padamu Negeri yang disiarkan oleh Metro TV. Acara itu menghadirkan tiga kelompok peserta yaitu dari Mahasiswa IKJ, Komunitas Islam Liberal, dan Komunitas Pengamat Film Matahari (lupa nih tau bener nggak namanya). Diskusi yang cerdas itu dihadiri oleh nara sumber Prof Komaruddin Hifayat dan salah seorang pengamat perfileman yang saya lupa namanya.
Topik yang didiskusikan adalah tentang Film Fitna yang belum lama beredar menjadi perbincangan dan menuai banyak protes dari berbagai kalangan, baik dari Umat Islam maupun bukan. Yang dibincangkan dalam diskusi sangat menarik. Masing-masing pihak, dipandu dengan hasil pooling sebagai pengarah diskusi, menuangkan argumentasinya. Ada yang cerdas dan pandangannya menyeluruh dan ada juga yang sangat reduksionis.
Yang sagat saya sayangkan pandangan Islam Liberal justru termasuk kelompok
pandangan yang reduksionis itu sehingga seorang peserta menampik latar belakang motivasional yang sebenarnya sangat penting dalam mendiskusikan suatu hasil karya apapun juga. Untungnya, nara sumber yang menjadi penengah yang berasal dari kalangan pengamat perfilman menjelaskan dengan gamblang kalau sisi motivasional dalam menilai suatu karya film maupun karya apapun juga sangat penting. Demikian juga ketika menilai film Fitna dan alasan dari pembuatnya yaitu politikus sayap kanan Belanda yang ternyata jauh-jauh hari sebelum film itu dibuat melakukan 41 satu kali kunjungan ke negara Israel yang sampai hari ini bergolak. Jadi, latar belakang psikologis di pembuat film sangat penting diketahui untuk mencari tahu motif yang melatarbelakanginya. Jawaban yang jitu itu memang akhirnya bisa menjelaskan kalau meskipun faktanya sedikit sebenarnya seseorang dapat menarik kesimpulan dari suatu karya seseorang dengan mengetahui riwayat historis pembuatnya, dna demikian sisi psikologisnya. Jadi ilmu untuk mencari motifasi dengan meneliti sejarah riwayat hidup si pembuat karya akan mengungkap motif dasar sebenarnya. Sebenarnya ilmu ini bagian dari ilmu psikologi dan sudah jamak diketahui karena filmnya sudah dibuat sebagai film thriller yaitu Profiler. Saya heran sekaligus terkejut kalau cara berpikir seseorang dari kalangan intelek Islam Liberal bisa menjadi sangat reduksionis padahal banyak hal bisa diungkapkan dengan meneliti background seseorang. Mungkin kuper aja yang ikut diskusi, pikir saya sambil terus menikmati diskusi tersebut.
Sebenarnya saya menunggu-nungu suatu ide cemerlang yang sederhana dari kalangan perfileman khususnya dari kalangan mahasiswa IKJ yang ikut serta dalam diskusi. Tapi sampai akhir diskusi ide sederhana tersebut nampaknya tidak terlintas di pikrian peserta diskusi.
Ide yang saya maksud sebenarnya berhubungan dengan teknik perfileman itu sendiri yaitu bisakah film Fitna disebut sebuah karya seni film? Kalau bisa apa yang menjadi patokannya dan kalau tidak apa yang menyebabkan film itu menjadi super heboh dan memberikan dampak luas meskipun filmnay berkualitas rendah secara teknis? Tujuan pertanyaan itu sebenarnya akan mengarah pada peran media massa dan histeria massa dari kalangan umat Islam sendiri yang nampaknya emosinya masih tidak stabil dan mudah terpancing dengan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu banyak diributkan. Tapi
ini zaman internet bung! Pikir saya, jadi kepopuleran film Fitna sebenarnya memang disengaja sebagai promosi negatif dengan memanfaatkan internet meskipun dari segi kualitas seni film sebenarnya tidak layak menjadi kajian insan perfileman. Namun, dari segi dampak dan akibatkannya, karena publikasi media massa yang semakin terbuka dan meluas dengan internet, menjadi menarik perhatian. Sekilas kesimpulan ini muncul dari peserta diskusi yang berasal dari kalangan film. tetapi hanya sebatas penjelasan kalau banyak yang bisa diperbuat oleh sebuah film, tanpa memberikan kriteria film yang bagaimana? Jadi, dimensi etik dan moral dan hubungannya dengan karya seni luput dari perhatian dalam diskusi yang memang sangat singkat, padat dan terarah oleh polling itu dimana kesimpulan umumnya film itu biarkan saja beredar tak perlu dibredel.
Menyangkut film, pikiran saya kemudian melayang ke ide kedua yang luput dalam diskusi tersebut yaitu film Ayat-ayat Cinta sebagai pembanding langsung sekaligus tandingan langsung antara film propaganda dan film hiburan yang mempunyai nilai estetika dan tentu saja mempunyai agenda yang jelas dan memberikan keuntungan finansial.
Berbeda dengan film Fitna yang membuat hingar bingar emosional banyak kalangan, maka film Ayat-ayat Cinta juga membuat hingar bingar dengan tambahan mengharu biru karena kisahnya menarik banyak penonton dan membangun imajinasi yang indah tentang kehidupan dan cinta kasih sesama manusia.
AAC juga diminati oleh berbagai kalangan. Bahkan, menurut catatan beberapa milis yang sempat mencatat berbagai komentar film Ayat-ayat Cinta, berbagai komentar datang bukan saja dari Indonesia, tapi juga berbagai media masa di luar Indonesia seperti di Australia, Timur Tengah dan negara lainnya. Komentar tentang film ini dapat dilihat di tulisan saya terakhir di Blog dengan judul Ketika Cinta Mengalahkan Horror (http://atmoon.multiply.com). Tulisan iseng itu hanya mengulas suatu tanda kalau film2 Horror di Indonesia mungkin dalam beberapa waktu mendatang akan menghilang dan digantikan dengan film Cinta.
Keberhasilan secara kreatif, hiburan dan finansial yang disajikan oleh AAC sebenarnya merupakan kebalikan dari film Fitna yang berhasil dari sisi membuat kehebohan di dunia. Sisi positif mungkin hanya bisa muncul jika Umat Islam sendiri mampu mengambil hikmah dan pelajaran bahwa di balik kebencian yang dipertontonkan kepada Umat islam terdapat hikmah juga asalkan Umat sadar secara teknis maupun konseptual kalau film Fitna dan media internet hanyalah sekedar alat semata yang dapat diekpoitasi oleh siapa saja. The man behind the gun.
Film Ayat-ayat Cinta yang populer kalau penonton dan pembuatnya sadar sebenarnya dapat digunakan sebagai sarana untuk mengcounter film Fitna dengan cara yang elegan dimana nilai-nilai universal Umat Islam sejatinya adalah Cinta Kasih pada semua makhluk seperti dicantumkan dalam Ummul Kitab al-Qur'an yaitu Kalimat Bismillahir al-Rahmaan al-Rahiim. Poin inilah yang lupus di ulas lebih jauh dalam diskusi-diskusi film Fitna sampai-sampai lupa kalau film tandingan untuk mengcounter dampak Film Fitna adalah Film Ayat-ayat Cinta. Setidaknya, AAC menjadi salah satu saja cara untuk mengcounter propaganda negatif.
Sejauh ini saja belum membaca komentar dan ulasan dari media massa Eropa atau Amerika yang mengulas film Ayat-ayat Cinta. Mudah-mudahan ada pihak-pihak yang benar-benar menyadari pentingnya pemutaran fil AAC di publik Eropa maupun Amerika untuk meredam kehebohan film Fitna . Film AAC menampilkan sisi lain dari Umat Islam yang jarang ditampilkan yaitu pokok pangkal al-Qur'an sendiri yaitu Cinta sebagai Rahmaat yang tidak lain adalah bentuk-bentuk tafsiran mental dari Firman Bismillahir al-Rahman al-Rahim.
Mari kita tunggu siapa yang berani memutar film Ayat-ayat Cinta di Belanda dan negara Eropa lainnya maupun di Amerika, kan disana banyak komunitas Islam juga. Jadi, kalau di putar disana , jika tak ada diskriminasi, saya percaya kalau cara-cara penyampaiannya tepat, promosinya, perencanaan penayangannya direncanakan dengan matang, AAC pasti untung dan bisa mengguncangkan hati semua manusia dimana saja, bukan saja di Eropa sebagai target operasi penayangan AAC tapi di seluruh muka bumi ini yang hakikatnya adalah buah dari suatu Cinta Yang Lebih Luhur yaitu Cinta Ilahi untuk menampilkan bukti yang nyata kalau Kehidupan Yang Berkualitas dengan adanya Cinta Kasih Universal adalah Utusan Allah, Yang Maha Esa, Yang Nyata, Yang Maha Hidup.
@mnadi
personal blog : http://atmoon.multiply.com
fav website : http://www.myquran.com
Sunday, April 13, 2008
Melawan “Fitna” Dengan “Ayat-ayat Cinta”
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment