Bismillahirrahmanirrahim
*Insya Allah Indonesia Bisa........*
Oleh: Fauzi Nugroho
Selama dua jam pemirsa TV disuguhi tontonan langsung peringatan "Hari Kebangkitan Nasional". Peringatan yang bertema "Indonesia Bisa", menjadi momen menghidupkan kembali semangat kebangsaan setelah seratus tahun berlalu. Di tengah kontroversi seputar tanggal peringatan, dan seabreg permasalah yang merundung bangsa. Acara kolosal yang dikemas dalam paduan tari, suara serta atraksi lainnya cukup menggelorakan spirit kebangsaan. Seakan seluruh elemen bangsa menuju titik yang satu, yaitu Nasionalisme. Stadion Gelora Bung Karno menjadi saksi munculnya kesadaran anak negeri untuk bangkit dari keterpuruan yang melanda pertiwi.
Betapa tidak!. Di tengah isu kenaikan harga BBM yang mengundang aksi demonstrasi masa di sana-sini. Kekhawatiran banyak pihak akan susulan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Penolakan sebagian daerah atas rencana pemerintah mengalokasikan subsidi BBM dalam bentuk Bantuan Langsung Tunai (BLT). Kegagalan Tim Piala Thomas dan Uber Cup memboyong kembali lambang supremasi Bulutangkis dunia. Menipisnya kebanggaan sebagai anak negeri, dan melunturnya rasa senasib sepenanggungan. Serta masalah-masalah lain yang kini melilit negeri. Namun malam itu, Merah Putih sempat bersemayam di dada kita, dan menimbulkan kecintaan terhadap negeri.
*Founding Fathers* telah sepakat bahwa perbedaan yang dimiliki bangsa ini adalah sebuah keniscayaan, dan hal itu adalah rahmat untuk bangsa ini. Sehingga ia tidak bisa dihilangkan begitu saja dan menjadikannya satu warna. Kebhinekaan itulah yang membuat negara ada seperti sekarang ini, keragamannya membentang dari ujung Sabang hingga Marauke. Baik dalam hal budaya, agama, suku, maupun adat istiadat. Sebagai seorang beriman, perbedaan adalah bukti atau tanda kekuasaan Sang Pencipta, "*Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah .....berlain-lainan bahasamu dan warna kulitmu.*" (QS. Ar Ruum, 30:22).
Perbedaan memang dikehendaki oleh Allah SWT, dan tidak mungkin dunia ini, khususnya Indonesia hanya satu warna. Para pendiri negeri telah menyadari hal itu, oleh karenanya konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah harga mati, tidak bisa diganggu gugat. Semua menyepakati pemikiran pendahulu bangsa itu, bukan malah mempermasalahkannya. Bhineka Tunggal Ika, itulah semboyan yang terus digaungkan sebagai perekat perbedaan-perbedaan yang ada, yang dengannya kita bahu membahu untuk kemakmuran dan kesejahteraan bangsa.
Namun setelah selama seabad lamanya, tampaknya rakyat kita belum bisa dikatakan mandiri dalam arti merdeka sesungguhnya. Kendati kemerdekaan telah diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta hampir 63 tahun lalu. Namun senyatanya modal tersebut belum mampu mengantarkan bangsa ini pada cita-cita para pendahulu. Cukup banyak kita saksikan polah dan tingkah anak negeri yang tidak sejalan dengan cita-cita luhur mereka. Sehingga pada momen kebangkitan ini, kita yang sebangsa dan setanah air diingatkan kembali untuk bangkit.
Menukil ucapan Bung Deddy Mizwar pada iklan layanan masyarakat dikatakan bahwa Bangkit adalah: Susah, susah melihat orang lain susah; Senang, senang melihat orang lain senang; Takut, takut melakukan korupsi dan makan sesuatu yang bukan haknya; Mencuri, mencuri perhatian dunia dengan prestasi; Malu, malu menjadi benalu, menjadi beban orang lain; dan seterusnya. Ucapan diatas seakan mengandung pesan bahwa karena bangsa ini telah lama terjajah, maka mental bangsa terjajah belum hilang sama sekali. Bahkan sebaliknya, bagi si kuat walaupun sebangsa namun bisa berlaku layaknya penjajah sang penindas. Ia mengikuti cara-cara imperialis, atau menjadi agen kepentingan mereka.
Ditengarahi saat ini, perilaku sebagian kalangan elit bangsa ini rasa nasionalismenya sudah luntur. Mereka layaknya kacang yang lupa kulitnya. Membuat kebijakan publik, tetapi justru merugikan rakyat. Memiliki jabatan bukan diamanatkan untuk kemakmuran tetapi malah korupsi. Punya kepintaran bukan untuk bangsanya, tapi untuk "meminteri" rakyatnya.
Lebih celaka lagi, rasa nasionalisme itu justru telah memudar pada berbagai lapisan masyarakat. Hedonisme dan takut miskin atau tidak bisa makan telah menghinggapi sebagian dari mereka, nasionalisme dibuang jauh-jauh. Jual pulau jika hal itu menguntungkan secara ekonomis, kenapa tidak?!.
Logika ekonomi senyatanya telah mengalahkan rasa nasionalisme. Padahal saat ini para imperialis justru menjajah bangsa ini melalui wilayah ekonomi, budaya, dan lainnya bukan lagi teritorial. Jika ada suatu perusahaan diambil alih pihak asing misalnya, lalu setelahnya berakibat PHK dan menjadikan bekas pegawainya menganggur. Kontrol lokal terhadap perusahaan berpindah, karena saham mayoritas dimiliki asing. Apakah hal ini masih bisa dikatakan sadar untuk bangkit?. Senyatanya banyak kita saksikan peristiwa yang tanpa disadari sebenarnya menggadaikan kedaulatan negeri.
Contoh kasus, baru-baru ini saudara saya yang tinggal di Lampung, tanah-tanah milik mereka ditawar untuk dibeli oleh calon investor warga Jerman. Hampir separuh desa, tanah sawah maupun ladang mereka diminati asing untuk dijadikan areal perkebunan kelapa sawit. Pertanyaan saya kepada saudara saya itu adalah, "Jika dijual, lalu Bu Lek (Bibi) dan Pak Lek (Paman) mau kerja apa?". Mereka diam, lalu saya tanya lagi, "Sawah dan ladang itu kan sumber mata pencaharian Pak dan Bu Lek, mau jadi buruh di ladang kelapa sawit?". Merekapun terdiam tak bisa menjawab. Lalu saya katakan, "Coba dihitung, hasil panen dengan jika menjadi buruh". Setelah hitung-hitungan kasar, mereka mengatakan bahwa masih untung jika memiliki sawah dan ladang sendiri. Akhirnya merekapun urung menjual walaupun pihak pemerintah daerah telah berupaya untuk menyakinkannya. Banyak orang yang kadang tergiur dengan jumlah uang yang diterima saat itu, karena besar menurut anggapannya. Tidak sedikit mereka yang akhirnya menggadaikan miliknya untuk asing hanya karena pertimbangan ekonomis. Rasa nasionalisme biasanya baru bangkit bila muncul kasus tertentu, misalnya sengketa Blok Ambalat dan klaim negeri Malaysia terhadap lagu Rasa Sayange serta Reog Ponorogo. Namun setelahnya memudar kembali. Secara fisik memang kita tidak punya musuh bersama (penjajah), namun saat ini kita dapat merasakan bahwa penjajah itu sebenarnya sedang disekitar kita, musuh itu bernama kemiskinan - penjajahan ekonomi, korupsi, infiltrasi budaya, ketidakadilan, dan sebagainya.
Momentum 100 tahun ini merupakan kesempatan bagi segenap elemen bangsa, untuk memikirkan, mengevaluasi, dan bertindak sesuai perannya agar bangsa Indonesia bisa bangkit. Membangun dengan kekuatan bangsa sendiri, bahu membahu, tidak saling meyalahkan, merasa paling bisa, dan seterusnya. Hal terpenting adalah bahwa kiprah itu harus dimulai dari diri sendiri, mempertanyakan dan mengevaluasi diri. Apakah kontribusi yang telah kita berikan untuk negeri ini?. Apakah kita telah mengimani dan mengamalkan firman-Nya (QS. Ar Ra'd, 13:11) yang berbunyi,
"*Sesungguhnya Allah tidak mengubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.*"?. Kebangkitan
tidak mungkin terwujud hanya dengan retorika, ia membutuhkan kerja keras, dan keseriusan melaksanakannya. Namun saya optimis bahwa bangsa ini bisa bangkit, dan bisa menjadi bangsa yang besar walaupun mungkin saya tidak mengalaminya. Semoga momen ini menjadi pertanda yang baik bagi negeri ini, untuk mengamalkan ajaran-Nya sesuai kesanggupan dan kemampuan masing-masing. Mudah-mudahan Allah SWT menguatkan tekad kita untuk mewujudkannya. Amien (fn).
Tuesday, May 27, 2008
Indonesia PASTI Bisa
Label:
indonesiaku
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment