Tuesday, May 6, 2008

Dampingi Guru Kita

Dampingi Guru Kita
http://serambinews.com
[ penulis: Cut Intan Meutia | topik: Pendidikan ]

Kita masih ingat kisah komunitas airmata guru dari kota Medan. Mereka diperkarakan karena memberitahukan kecurangan dalam pelaksanaan ujian akhir nasional. Persoalan kecurangan yang terjadi pada ujian akhir nasional (UAN) bukanlah rahasia umum. Namun berita pelaporan dari sekelompok guru dari kota Medan menjelaskan kepada kita bahwa pendidikan kita harus diselamatkan. Meski mereka dicibir dan dipaksa melepaskan profesi sebagai guru, mereka tidak takut untuk kehilangan mata pencahariannya itu. Mereka berani dan Mereka harus berbicara! Komunitas airmata guru itu mengajarkan kita kejujuran harus menempatkan prioritas di atas segalanya. Dua jempol untuk mereka.
Seorang anak sekolah dasar bercerita pada saya, bahwa ketika akan mengikuti ujian kelulusan, posisi duduk mereka telah diatur oleh guru kelasnya. Yang pintar duduk dengan yang kurang pintar. Sehingga jika si temannya kesulitan untuk menjawab, maka akan ada sang penolong. Temannya yang pintar itu. Selesai mendengar cerita anak sekolah dasar tersebut, saya berpikir keras. Ketika ujian berlangsung, bagaimana anak yang pintar itu akan memberitahukan temannya jika sedang bertanya nantinya? Posisi duduk mereka pun berjarak antara satu dengan yang lainnya. Bukankah Ia akan diawasi oleh guru. Konon satu kelas akan ada dua guru yang mengawas. Benarkah?

Setelah ada kecurang pertama maka akan ada kecurangan berikutnya. Jika ada kebohongan pertama maka akan ada kebohogan berikutnya. Kecurangan lain pun akan berlanjut, tentulah akan ada kontrak kerjasama antara sekolah dengan guru-guru yang mengawas. Apa isi kontrak kerjasama itu? Entahlah. Intinya sama-sama tahu. Biarkanlah anak didik itu (baca: murid sekolah) itu lulus. Terserah dengan cara apapun. Luarbiasa sebuah kejahatan dalam dunia pendidikan sedang dipertontonkan.

Lain lagi cerita dari seorang anak sekolah dasar. Seorang temannya kesulitan dalam menjawab ujian. Temannya tersebut bertanya kunci jawaban pada temannya itu. Ia pun melakukan kecurangan. Memberikan kunci jawaban yang salah pada temannya itu. Alasan Ia lakukan itu adalah salah sendiri mengapa bertanya. Ini kan ujian! Begitulah Ia
bercerita. Kita patut acung jempol pada cerita anak sekolah dasar itu. Ia mengajarkan kita untuk tidak berlaku curang meski Ia harus membohongi temannya dengan memberikan jawaban fatalnya. Darimanakah dia belajar itu? Dari gurunyakah?

Ungkapan ini tentu tidak asing kita dengar. Guru yang digugu dan ditiru. Fungsi guru di sekolah hampir sama halnya fungsi orangtua di rumah. Guru menjadi penunjuk jalan agar murid tidak salah dalam melangkah. Lantas, mengapa mental guru jauh dari seperti yang
diharapkan? Semisalnya, memberikan bocoran jawaban ketika UAN sedang berlangsung? Gurukah yang salah atau kita yang tidak memperhatikan beban kerja mereka selama ini. Mungkinkah sistem yang menjebak guru berlaku sedemikian rupa? Jika menggantikan sebuah lirik lagu, guru juga manusia! Manusia adalah tempat berbuat salah. No body´s perfect! Lalu, apakah kesebuah kesalahan yang terus berlanjut dapat dijadikan sebuah pembenaran yang terus menerus?

Masalah guru kita Guru dituntut kreatif dalam menyampaikan materi. Saya pernah diminta untuk mengajar pelajaran bahasa Inggris setelah Tsunami selama tiga bulan untuk kelas empat dan lima sekolah dasar. Murid kelas yang normalnya 40-an bertambah hingga 50 orang. Saya hampir menyerah untuk mengajar. Kelas terasa sesak. Bahkan meja dan kursi murid hamper mendekati papan tulis. Normalkah kelas dengan jumlah murid sebanyak itu? Dalam situasi normal saja jumlah murid sudah mencapai empat puluh.

Saat guru baru menjelaskan materi, sebuah keributan terjadi. Di pojok yang lain, siswa tersebut berbicara atau asyik menunjukan mainannya Belum lagi persoalan jika terjadinya pertengkaran di antara mereka. Tugas guru menyampaikan materipun berhenti. Ia harus menenangkan kelas. Selain itu, bagaimana Ia harus membangun komunikasi yang efektif antara murid dan guru. Bagaimana Ia harus berpikir kreatif dengan jumlah siswa di kelas saja melebihi kemampuan dia untuk berkomunikasi. Rencana pengajaranpun tidak tercapai dalam situasi kelas yang begitu besar sekalipun. Persoalan pertama pun muncul. Manajemen kelas yang kacau. Gurupun ditunding tidak memampu mengarahkan kelasnya.

Ilustrasi lain, dengan jumlah guru yang sangat sedikit, katakanlah 1:40. Satu guru memiliki jumlah murid empat puluh orang. Awal Februari yang lalu, saya melakukan observasi selama dua hari di salah satu sekolah dasar di Northampton, Massachussets, Amerika. Kelas yang saya observasi adalah kelas dua. Hari itu sang guru meminta maaf pada saya dan bercerita karena muridnya kadang sulit diatur. Saya tersenyum begitu mendengar ceritanya tentang Ia agak sedikit kewalahan menangani muridnya yang jumlahnya pun tidak sampai lima belas itu. Saya jadi ingat dengan sekolah di Indonesia yang umumnya berjumlah empat puluh itu.

Adakah setiap saat kita atau siapa saja meminta maaf pada guru karena membebankannya untuk menangani empat puluh siswa dalam satu kelas dengan tingkat kemampuan murid yang berbeda. Dan itu harus Ia lakukan sendiri dan memastikan anak didiknya mengerti apa yang diajarkannya. Di kelas yang saya observasi itu, guru utama kelas telah dibantu oleh student teacher atau volunteer. Bahkan Ia meminta saya untuk membantu salah seorang muridnya di kelas itu. Intinya, Ia ingin muridnya itu mendapatkan perhatian yang cukup. Kesimpulannya, cukupkah waktu seorang guru kita memperhatikan empat puluh siswa?


Dalam persoalan ekonomi, kebijakan pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintah kita ini sangat tidak berpihak pada guru. Tahun lalu, anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun 2007 untuk Dinas Pendidikan Aceh tidak habis habis diserap (Serambinews.com, 25 Januari 2008). Dana yang sebesar 4,5 milyar itupun dikembalikan ke kas negara. Aneh bukan? Dana yang ada tidak dapat dikelola dengan baik. Padahal guru-guru kita berteriak agar mereka diberikan kehidupan dan perhatian yang layak oleh pemerintah kita. Atau kebijakan anggaran yang terlalu kaku sehingga dana yang mengganggur itu tidak bisa dialihkan. Belum lagi para dewan yang memohon-mohon pada kita untuk memilih mereka menjelang pemilu. Ikut kata pepatah. Habis manis sempah dibuang. Mereka lupa memperjuangkan guru untuk mendapatkan kehidupan yang layak setelah mereka dipilih. Malah para anggota dewan itu ribut meminta
kenaikan gaji dan tunjangan yang lain. Padahal dari sisi ekonomi mereka sudah dikategorikan masyarakat kalangan atas meski gaji dan tunjangan mereka tidak dinaikan.

Persoalan lain yang paling dicemasi oleh guru, khususnya guru yang memegang kelas tiga baik sekolah menengah pertama (SMP) ataupun sekolah menengah umum (SMU) adalah ketika mempersiapkan anak didiknya untuk mengikuti ujian akhir. Guru pun akan merasa terbebani. Apa jadinya murid yang dididik selama ini tidak lulus. Pemerintah kita telah memasang target kelulusan yang tidak bisa dinegoisasi. Evaluasi belajar akhir siswa harus dengan sistem ujian akhir nasional (UAN). Kebijakan nilai standar kelulusanpun tidak dapat dikompromi. Praktisi pendidikan meminta untuk mencabut kebijakan itu. Dan siswa pun ikut berdemontarasi agar sistem UAN itu dicabut. Usaha telah dikerahkan tapi pemerintah mengabaikan.

Guru pun dipaksa mendongkrak kemampuan siswa dengan berbagai cara. Menambah jadwal belajar. Kelas pagi tak cukup maka berlanjut untuk kelas sore. Siswa digenjot dengan drilling method (metode latihan menjawab soal). Esensi untuk mengajarkan ilmupun terabaikan karena kebijakan itu. Tujuan utama pendidikan untuk menjadikan manusia lebih baik tidak tercapai. Yang ada kemampuan cara cepat menjawab soal terasah. Belajar bukan lagi tujuan untuk memahami tapi lebih kepada pencapaian untuk lulus tes. Sedih bukan?

Perlahan kreatifitas guru dan siswa tidak terasah. Lagi, guru ditunding tidak dapat mengajar secara kreatif. Logikanya, apa yang harus dilakukan guru, jika murid lebih meminta guru untuk memberikan setumpuk kumpulan soal dari pada penggayaan materi yang menggarah pada praktek. Intinya, siswa lebih ingin belajar untuk menghadapi tes daripada memperkayaan diri dengan berpikir kritis. Fatalnya, sekolah kejuruan yang tujuan untuk meningkatkan tenaga kerja yang siap pakai, dipaksa ikut tes yang memangkas praktek mereka lakukan selama tiga tahun. Kreatifitas mereka pun harus dibunuh dalam waktu tiga jam. Kemampuan mereka selama tiga tahun hanya dinilai dengan tiga jam saja. Tiga jam ujian lebih berarti daripada tiga tahun belajar.

Dampingi guru

Jumlah murid 40 dalam satu kelas saja tidak layak memiliki satu guru. Meminta tambahan guru? Pasti! Jumlah guru harus bertambah dan itu harus berbanding lurus dengan penambahan kualitas hidup mereka. Untuk mengatasi kekurangan guru, ajak orangtua untuk menjadi tenaga sukarela di kelas, khususnya untuk anak kelas sekolah dasar. Bantu guru dalam hal manajemen kelas, bukan dalam penyampaian materi. Beban penyampaian materi tetap ditangani oleh guru utamanya. Namun untuk hal-hal yang sepele di kelas tentu bisa dibebankan pada orangtua yang ikut menjadi sukarelawan di sekolah-sekolah anak-anak mereka.

Kerja sukarelawan ini tentu akan membantu guru dalam pencapaian materi dan orangtua juga tahu bagaimana situasi kelas dan perkembangan anaknya di sekolah itu. Jadi, orangtua tidak perlu marah pada guru jika anak kurang berhasil di sekolah. Selain meminta orangtua untuk menjadi volunteer, tentu sekolah juga bisa melakukan kerjasama dengan universitas untuk mengirimkan sukarelawan, khususnya dari sekolah kejuruan pendidikan. Dalam hal ini bukan praktik mengajar pratikum), tetapi lebih kepada membantu guru di kelas dalam menangani persoalan classroom management atau membantu mengajarkan membaca pada anak-anak yang memiliki kemampuan membaca kurang.

Banyak akar persoalan yang menyebabkan guru kita tidak perkembang. Para guru dikejar untuk mencapai target apalagi menjelang ujian nasional, tetapi usaha memperbaiki kualitas mengajar mereka kurang diperhatikan. Keahlian mengajar guru-guru kita perlu diasah. Pengembangan profesional mereka perlu mendapatkan perhatian. Training-training untuk guru perlu semakin diperhatikan. Organisasi guru perlu ditumbuhkembangkan tapi tidak ada unsur untuk kepentingan politik semata. Tak perlu dengan dana yang besar sebab dana adalah selalu menjadi biang kerok untuk melakukan banyak hal. Bahkan ketika ada dana yang besar, sudah terlebih dahulu disunat untuk kepentingan yang tak jelas. Mulailah dengan tekad dan keinginan kuatlah yang
memperlancar segalanya.

Para guru perlu mengadakan evaluasi mengajar mereka sesama guru. Misalnya, guru-guru Matematika saling tukar pendapat, tentunya pertemuan ini rutin. Atau guru-guru antar sekolah bisa saling membagi ilmu dengan pertemuan rutin mereka dan saling sumbang saran untuk memperbaiki kinerja mereka. Jadi, dalam lingkup wilayah kecamatan misalnya, jika organisasi guru ini berjalan, mereka tentu tidak sendiri-sendiri dalam menghadapi persoalan dalam mengajar. Saya pernah menghadiri acara sharing teacher di antara guru swasta di sana yang dilakukan rutin tiap bulan. Saya pikir hal ini juga bisa diterapkan di antara guru-guru kita. Tanpa mengabaikan hal-hal yang lain.

Selain itu, dalam persoalan UAN, berhentilah untuk menuntut para guru atau kepala sekolah memasang target tertentu sebuah kelulusan. Sekolah akan malu jika ada muridnya yang tidak lulus. Atau sekolah akan malu jika tahun berikutnya tidak lagi difavoritkan lantaran ada siswa yang tak lulus. Berhentilah untuk melakukan kebohongan. Ada hal yang lain perlu kita contoh untuk menunjukan sekolah yang bermutu. Didik murid dengan kejujuran bukan dengan paksaan atau kebohongan. Selain itu, kita tentu terus berjuang dan berharap agar pemerintan menguban system evaluasi belajar. Sehingga guru tidak terbebani oleh tekan-tekanan dalam mengajar. Dan yang lebih penting proses belajar dan mengajar jauh dari stress.

Ada kutipan menarik; The question is not Can you make a difference? You already do make a difference. It´s just a matter of what kind of a difference you want to make, during your life on this planet. –Julia Butterfly Hill. Jalan masih panjang. Kita tidak tahu di mana dan kapan sistem pendidikan kita akan membaik. Namun usaha dan optimisme kita untuk memperbaiki keadaan sekitar kita perlu dibangun terus. Bukankah itu yang diajarkan oleh agama kita.

No comments: