Thomas Koten
ROTOGORAS (485 SM), seorang filsuf sofistik, melukiskan betapa timbulnya negara, acapkali diawali ketika manusia yang mulanya hidup sendiri mengalami kesulitan dalam meng- hadapi berbagai "ancaman" yang datang dari luar, maka ia mulai berkumpul dengan yang lainnya dalam kota-kota, kemudian terbentuklah negara.
Maka, kata "negara" sama dengan staat dalam bahasa Jerman atau state dalam bahasa Inggris, berarti masyarakat atau wilayah yang merupakan satu kesatuan politis, yang di dalamnya memiliki lembaga pusat yang menjamin kesatuan politis itu. Di sini, fungsi negara adalah sebagai pusat pemersatu suatu masyarakat. Dan, fungsi dasar serta hakiki negara, sebagai pemersatu dan pelindung masyarakat adalah penetapan aturan-aturan kelakuan yang mengikat.
Dengan demikian, kesejahteraan dan keharmonisan internal yang tampak dalam suatu negara, tidak pernah terjadi secara otomatis, alamiah, melainkan karena suatu ketaatan dan kesepakatan yang sadar dan bebas. Kesejahteraan, keharmonisan, ketenangan, keadilan, dan kedamaian adalah suatu titik ekuilibrium yang dimeterai oleh konsensus dan diatur oleh perimbangan di antara kekuatan dan kekuasaan.
Di sinilah, dalam kaitan dengan lukisan Protogoras di atas, menyembul mitos The Social Contract yang disodorkan baik oleh Thomas Hobbes maupun oleh JJ Rousseau.
Untuk itu, negara (sekali lagi dalam terminologi klasik), didirikan sebagai alat untuk memberikan rasa aman dan kesejahteraan bagi manusia yang berada dalam lingkupnya. Apa pun dan di mana pun negara tersebut berdiri, sesungguhnya merupakan kesepakatan bersama dari rakyatnya, sehingga segenap pengelolaan atas (kekuasaan) negara semestinya diarahkan bagi kepentingan rakyat, sehingga, rakyat harus patuh pada kesepakatan bersama tersebut. Persoalan kini adalah bagaimana jika negara tidak sanggup menjalankan fungsinya secara relatif-maksimal untuk memberikan rasa aman, adil, dan sejahtera? Apakah rakyat harus tetap "setia" pada "negara", tatkala negara tampak tidak sanggup juga memberikan jaminan "keuntungan" dari para penyelenggara negara? Persoalan sekaligus pertanyaan inilah yang sedang "menggeliat" memenuhi ruang kalbu rakyat kecil- miskin-kebanyakan di negeri ini. Busung lapar yang masih juga terjadi belakangan ini, lonjakan harga barang- barang kebutuhan sehari-hari serta transportasi yang sulit dijangkau, dan lain-lain akibat kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak dan tidak lama lagi tarif dasar listrik, sesungguhnya merupakan realitas yang secara nyata menunjukkan musnahnya kontrak sosial (social contract) antara negara (state) dan masyarakat warga (civil society).
Hidup Tanpa Negara
Bertolak dari uraian di atas, muncul sebuah pertanyaan yang menggelitik di sini, apakah dengan demikian rakyat kita dapat hidup tanpa negara? Pertanyaan ini, terasa aneh dan ironis, mengingat negara dalam literatur politik klasik, -lihat lukisan Protogoras di atas-, didirikan oleh manusia sebagai sebuah tuntutan "fitrah", manusiawi, karena manusia menurut kodratnya merupakan zoon politikon, makhluk yang hidup dalam polis atau kota yang kemudian terbentuk negara itu.
Aristoteles (385) melukis, suatu makhluk yang menurut kodratnya, tidak hidup dalam polis, merupakan seekor binatang atau seorang dewa. Atau, Mary Douglas tentang cara berpikir institusi negara - dalam How Institutions Think (1986) mengemukakan, individu (agency) tidak pernah lepas dari institusi (structure) negara. Dalam pola pikir dan tindakan individu, selalu ada ruang bagi muatan-muatan karakter institusi untuk masuk dan mempengaruhi cara pandang dan prilaku individu. Tidak ada individu yang bebas dari institusi-negara karena dari institusilah individu mendapatkan legitimasi identitasnya. Pada tingkatan negara, institusi negara menjadi referensi utama dalam proses pengambilan keputusan so- sial dan politik. Jadi, hidup tanpa negara di sini, meminjam Listiono Santoso (2001), bukan berarti pelenyapan negara (stateless) sebagaimana yang diimpikan Marx, melainkan bagaimana rakyat tidak lagi "menggantungkan" seluruh nasib hidupnya ke depan pada negara. Selama ini, rakyat memang selalu dikondisikan dan "dimanjakan" untuk selalu tergantung (dependensi) pada negara dalam menjawab persoalan yang dihadapinya. Ketergantungan acapkali sengaja diciptakan agar rakyat tidak mempunyai kemampuan menyelesaikan persoalan secara mandiri.
Tatkala rakyat tidak sanggup menyelesaikan persoalannya, maka muncullah "negara" sebagai juru selamat untuk menyelesaikan persoalan rakyat. Padahal, setiap bantuan negara, selalu memiliki kepentingan ideologis untuk menunjukkan kekuasaan negara atas rakyat.
Artinya, yang diharapkan dari rakyat adalah mentalitas hidup mandiri tanpa bergantung penuh pada negara. Semangat kemandirian ini menjadi momentum bagi munculnya penguatan civil society yang dicita-citakan.
Hal ini bisa diraih bila rakyat dibiasakan hidup "tanpa negara", dalam artian bukan dalam rangka mengabaikan peran negara, tetapi mengantisipasi kemungkinan tidak "bekerjanya" secara efektif fungsi atau amanah yang harus dimainkan negara, sebagaimana yang terjadi selama ini. Ini pula yang dapat membuat rakyat kokoh dalam memperjuangkan nasibnya dan melakukan protes keras pada negara bila negara lalai dalam menjalankan tugasnya.
Kontrak Sosial
Tidak terpenuhinya kesejahteraan rakyat, keadilan, dan keharmonisan merupakan sebuah tanda telah matinya kontrak sosial dan politik yang telah dibangun atas kesepakatan bersama seluruh rakyat.
Dan, matinya kontrak sosial-politik disebabkan oleh kurang maksimalnya negara menjalankan peran sosial, politik, dan moralnya dalam mengelola kehidupan negara, dan rakyat pun tidak profesional dalam mengelola hidupnya sendiri. Dan, bagaimana itu bisa dipersoalkan lebih lanjut?
Politik Kesejahteraan Reformasi yang bergulir sejak dekade 1990-an, sesungguhnya merupakan momentum historik untuk mengeliminasi berbagai anasir perusak (destroyer), kontrak sosial antara state dan civil society.
Sayang, momentum emas itu sirna ditelan waktu oleh berkecamuknya orientasi feodalistik pada pemerintahan di berbagai lini, dan kuatnya oligarki kapital pada pemerintahan. Karena itu, biar bagaimana pun konsepsi politik kesejahteraan rakyat tetap saja tidak dapat terwujudkan.
Politik kesejahteraan rakyat dalam kontrak sosial adalah visi, dan langkah politik untuk menjadikan kesejahteraan rakyat sebagai tujuan utama perbaikan ekonomi, politik, sosial, hukum dan seterusnya.
Dan, semua ini hanya bisa tercapai jika negara menjalankan fungsi moralnya secara akurat dan memadai. Moral atau moralitas negara adalah sebentuk prilaku yang di dalamnya mengandung unsur-unsur keberpihakan negara terhadap kepentingan rakyat-masyarakat.
Inilah yang oleh JJ Rousseau (1712-1778) diistilahkannya sebagai volonte generale untuk melokalisasi pihak- pihak yang dianggap masuk kriteria tanggung jawab negara saat memanifestasikan perlindungannya. Ketidaksejahteraan rakyat sepenuhnya menjadi tanggung jawab negara (pemerintah) untuk direkonstruksi.
Target Politik
Pada titik itulah, negara membutuhkan paradigma baru yang secara eksplisit mengandalkan aspek moralitas sebagai inspirasi pengelolaannya, dan rakyat membutuhkan suatu cara pandang baru dalam mengatur hidupnya dalam bermasyarakat dan bernegara.
Implementasi aspek moralitas negara adalah praksis negara yang tidak menjadikan kekuasaan hanya sebagai target politik elite untuk mendapatkan kenikmatan dalam kelambu kekuasaan yang diraihnya. Cara pandang baru rakyat dalam hidup bernegara adalah mengatur hidupnya secara profesional, mandiri, tanpa mengabaikan peran negara.
Dalam hal ini, negara diharapkan tidak mengabaikan peran moralnya dalam mengelola kehidupan bersama masyarakat dan bangsa, agar rakyat tidak menjadikan situasi itu sebagai momentum untuk benar-benar hidup tanpa mempedulikan negara. *
Penulis adalah Direktur Social Development Center
Tuesday, March 25, 2008
Belajar Hidup Tanpa Negara
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment