Wednesday, February 27, 2008

KEZALIMAN DI BALIK


KEZALIMAN DI BALIK
DERITA KORBAN LUMPUR LAPINDO
Buletin Al-Islam Edisi  394


       Sudah hampir dua tahun kondisi warga yang menjadi korban banjir lumpur
Lapindo di Sidoarjo semakin terjepit, sementara kebijakan Pemerintah
maupun DPR cenderung berpihak kepada Lapindo Brantas Inc. Sebagaimana
dilaporkan Republika (17/2), Tim Pengawas Penanggulangan Lumpur Sidoarjo
(TP2LS)-DPR RI sepakat menyatakan bahwa semburan lumpur di Sidoarjo
merupakan bencana alam atau biasa disebut dengan gunung lumpur (mud
vulcano), dan bukan akibat kelalaian Lapindo.

Kesimpulan ini bertolak belakang dengan kesimpulan pengadilan dan pakar
pertambangan dari perguruan tinggi ternama di Indonesia maupun di luar
negeri. Menurut Walhi, Kersam Sumanta, mantan
Direktorat Eksplorasi dan Produksi BPPKA-Pertamina yang juga mantan
anggota Tim Nasional Penanggulangan Lumpur Lapindo, menyatakan bahwa ada
unsur kekeliruan manusia yang menyimpang dari standar operasional teknik
pengeboran hingga mengakibatkan terjadinya semburan. Mantan Ketua Ikatan
Ahli Geologi Indonesia Andang Bachtiar, Senin (18/2) di Malang, juga
menegaskan bahwa semburan lumpur panas di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur,
adalah akibat kelalaian Lapindo Brantas Inc. Ia menolak peristiwa itu
disebut sebagai bencana alam.

Kesimpulan TP2LS–DPR RI tersebut jelas akan semakin 'mengamankan' tanggung
jawab Lapindo.


Kezaliman Luar Biasa


Sejak pertama kali meluap, 29 Mei 2006, banjir Lapindo telah menimbulkan
kerusakan yang sangat parah. Menurut berbagai sumber data di lapangan,
sampai saat ini jumlah bangunan yang terendam meliputi 10.426 tempat
tinggal, 33 sekolah, dan 31 pabrik. Lahan sawah yang diperuntukkan tebu
yang terendam mencapai 64,02 ha dan sawah untuk tanaman padi yang terendam
mencapai 482,65 ha. Banjir lumpur ini telah mengakibatkan ratusan ribu
warga kehilangan mata pencahariannya dan ketidakjelasan nasibnya.

Anehnya, penanganan terhadap hal tersebut, baik dari Pemerintah maupun
DPR, cenderung mengabaikan kepentingan korban. Hal ini dapat dilihat dari
beberapa kebijakan berikut: Pertama, penanganan Pemerintah terhadap korban
lumpur Lapindo diatur melalui Peraturan Presiden (Perpres) No. 14 tahun
2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS). Perpres ini
lebih berpihak kepada Lapindo. Misalnya, Perpres ini telah membatasi
kewajiban Lapindo hanya mencakup Peta Terdampak sesuai dengan kondisi pada
tahun 2007. Padahal areal yang terendam banjir lumpur tersebut terus
meluas hingga saat ini. Akibatnya, berdasarkan Perpres ini, Lapindo hanya
bertanggung jawab terhadap sekitar 22.301 jiwa dari 4 desa/kelurahan yang
termasuk dalam Peta Terdampak. Adapun lebih dari 40 ribu jiwa yang lahan
dan tempat tinggalnya terendam lumpur dianggap di luar tanggung jawab
Lapindo karena berada di luar areal Peta Terdampak.

Perpres tersebut juga telah menetapkan pembayaran ganti rugi melalui
mekanisme jual-beli kepada korban dilakukan secara bertahap, yaitu sebesar
20% dibayarkan di muka dan sisanya yang 80% akan dibayarkan kurang lebih
setelah dua tahun. Sampai saat ini masih belum jelas pembayaran sisanya
tersebut. Perpres itu juga telah mengubah kewajiban Lapindo memberikan
ganti rugi kepada korban menjadi masalah keperdataan jual-beli tanah
dengan harga yang sudah ditentukan oleh Lapindo.

Warga korban pada Januari 2008 telah mengajukan uji material Perpres No.
14 Tahun 2007 tersebut kepada Mahkamah Agung (MA). Intinya, mereka meminta
Perpres itu dibatalkan karena pembayaran ganti rugi yang diberikan kepada
para korban menggunakan proses jual-beli secara tidak tunai. Cara tersebut
dinilai sama sekali tidak mendahulukan kepentingan para korban dan justru
menguntungkan Lapindo. Namun, MA sejalan dengan Pemerintah dalam menjaga
kepentingan Lapindo; MA menolak pengajuan tersebut.

Kedua, pihak DPR yang seharusnya menjadi pembela rakyat yang menjadi
korban tersebut juga tidak bisa diharapkan. Sejak awal tahun 2007 DPR
telah mengancam akan melakukan hak interpelasi kepada Pemerintah terkait
dengan pola penanganan lumpur Lapindo. Namun, hingga saat ini isu
interpelasi itu faktanya hanya menjadi 'jualan' politik, tidak benar-benar
untuk membela kepentingan rakyat. Buktinya, minggu lalu TP2LS-DPR RI
menyatakan bahwa semburan lumpur tersebut dianggap sebagai akibat bencana
alam, bukan karena kelalaian Lapindo.

Kelihatannya TP2LS yang dibentuk oleh DPR tersebut memang 'bekerja' untuk
Lapindo, bukan untuk menolong rakyat lemah yang menjadi korban. Buktinya,
laporan TP2LS ini sama persis dengan iklan yang diterbitkan oleh Lapindo
Brantas Inc. di berbagai media massa. Dalam iklan bertajuk, "Meneropong
Bencana Lumpur di Sidoarjo" (Republika, 27/11/2007), Lapindo Brantas Inc.
mencoba mencari-cari keterkaitan antara gempa Yogyakarta dan awal
munculnya semburan lumpur panas. Dengan meminjam pernyataan dari beberapa
pakar perguruan tinggi, Lapindo Brantas Inc. menyebut semburan lumpur
panas yang terjadi di Sidoarjo adalah proses dari apa yang dinamakan mud
vulcano.

Kesimpulan TP2LS–DPR memang wajar senada dengan iklan Lapindo Brantas Inc.
tersebut. Sebab, dalam TP2LS itu DPR mengirim dua orang ahli yang berasal
dari pihak Lapindo. Kedua ahli tersebut jelas akan mengatakan bahwa itu
merupakan peristiwa alam yang bukan disebabkan karena salah pengeboran.
Padahal seorang ilmuwan dari Jepang, Prof. Mori, menunjukkan bahwa posisi
lumpur Lapindo di Sidoarjo ternyata berada jauh di luar pusat gempa yang
terjadi di Yogyakarta. Intinya, getaran yang sampai ke Sidoarjo tidak
cukup kuat untuk dapat menimbulkan aktivitas gunung api lumpur. Anehnya,
TP2LS–DPR hanya mengambil pendapat dari sejumlah pakar yang sependapat
bahwa semburan lumpur Lapindo adalah bencana alam, dan cenderung
mengabaikan pendapat pakar lain yang menyatakan sebaliknya.

Inilah fakta betapa Pemerintah dan DPR sebenarnya memang berpihak kepada
Lapindo Brantas Inc. daripada mempedulikan penderitaan massal yang menimpa
rakyat yang menjadi korban itu. Tentu ini semakin menguatkan dugaan bahwa
politik dan ekonomi yang berjalan saat ini sebenarnya dikendalikan oleh
para kapitalis pemilik modal. Adapun pihak Pemerintah, DPR dan bahkan
Lembaga Peradilan lebih berfungsi sebagai penguat kepentingan para
kapitalis tersebut. Ini jelas sebuah kezaliman yang luar biasa.


Sistem Islam Menghapus Kezaliman


Secara fitrah, setiap manusia mendambakan keadilan dan membenci kezaliman.
Karena itu, Islam sangat tegas mengharamkan tindakan zalim, khususnya
kezaliman penguasa yang telah mengemban amanat untuk melindungi dan
mengayomi rakyatnya. Secara khusus Rasulullah telah berdoa kepada Allah
SWT agar membalas para penguasa yang berlaku zalim terhadap rakyatnya:


"Ya Allah, siapa saja yang telah diangkat untuk mengurus urusan umatku,
kemudian dia mempersulitnya, maka persulitlah dia. " (HR. Muslim)


Imam an-Nawawi dalam Syarh Shahîh Muslim, ketika menjelaskan hadis ini,
mengatakan, doa Rasul saw. ini merupakan larangan yang paling hebat atas
tindakan menimpakan kesulitan terhadap rakyat. Doa ini sekaligus merupakan
dorongan yang paling besar kepada penguasa agar selalu bersikap lembut dan
adil kepada mereka. Banyak hadis yang menyatakan hal serupa.

Berbagai kezaliman yang menimpa rakyat dalam aspek ekonomi, politik,
pendidikan, sosial, dan sebagainya saat ini pada dasarnya bukan sekadar
karena tindakan individual penguasa, namun lebih karena sistem
Kapitalisme-sekular yang memang berkarakter zalim, yang saat ini
diterapkan. Artinya, kezaliman yang dirasakan rakyat lebih karena
kezaliman sistem, bukan sekadar kezaliman individual penguasa. Karena itu,
siapapun yang menjadi penguasa dalam sistem yang zalim seperti ini pasti
akan bertindak zalim.

Allah SWT telah mengaitkan kezaliman dengan hukum (sistem) yang dipakai
oleh penguasa dalam memerintah rakyatnya. Allah SWT, misalnya, berfirman:


Siapa saja yang tidak memutuskan perkara menurut apa (wahyu) yang Allah
turunkan, mereka itu adalah orang-orang zalim. (QS al-Maidah [5]: 45).


Pada surah yang sama (al-Maidah) ayat 44 dan 47, Allah SWT juga memvonis
kafir dan fasik jika penguasa tidak memutuskan perkara menurut wahyu
Allah. Menurut Ikrimah, ayat tersebut mengandung pengertian bahwa siapa
saja yang berhukum dengan selain hukum Allah dengan penuh kesadaran adalah
kafir. Namun, jika ia tetap mengakui hukum Allah tetapi dalam praktiknya
ia tidak melaksanakannya, ia terkategori zalim dan fasik (Lihat:
Al-Baghawi, Ma'âlim at-Tanzîl, I/210).

Jadi, ketidakadilan yang dirasakan masyarakat saat ini, termasuk para
korban banjir Lapindo, sesungguhnya merupakan dampak dari kezaliman
sistem kapitalis-sekular yang diterapkan di negeri ini; sekaligus akibat
ditinggalkannya  sistem hukum Islam yang adil yang telah Allah turunkan.

Karena itu, sudah saatnya kita membuang  sistem Kapitalisme-sekular dari
kancah kehidupan. Agenda umat Islam ke depan adalah membangun tegaknya
sistem hukum Islam, yang pasti menjamin keadilan karena datang dari Zat
Yang Mahaadil.
Tegaknya sistem Islam merupakan satu-satunya jalan untuk menghapus
kezaliman sistem kapitalis-sekular yang terbukti menyengsarakan umat
manusia di berbagai belahan bumi. Hanya dengan itulah keadilan dan
kemakmuran akan dapat diraih. Allah SWT berfirman:


Apakah hukum Jahiliah yang kalian kehendaki? Siapakah yang lebih baik
hukumnya daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS al-Maidah
[5]: 50). []

</span>

No comments: