RAMADHAN: SARANA UNTUK MEWUJUDKAN
KETAKWAAN PERSONAL DAN SOSIAL
Buletin Al-Islam Edisi 420
Bulan Rajab belum lama kita lalui. Bulan Sya'ban sebentar lagi kita akhiri. Kini, bulan Ramadhan segera datang menghampiri. Terkait dengan ketiga bulan mulia ini, Baginda Rasulullah saw. secara khusus memanjatkan doa ke haribaan Allah SWT:
«اَللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَ شَعْبَانَ وَ بَلِّغْنَا رَمَضَانَ وَ حَصِّلْ مَقَاصِدَنَا»
Duhai Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan pada bulan Sya'ban ini; sampaikanlah diri kami pada bulan Ramadhan; dan tunaikanlah keinginan-keinginan kami (HR Ahmad).
Ibarat samudera, Ramadhan menyimpan sejuta mutiara kemuliaan, memendam perbendaharaan segala keagungan dan di dalamnya bersemayam aneka kebesaran. Ramadhan juga merupakan cakrawala curahan karunia Allah SWT karena semua aktivitas hamba yang beriman pada bulan ini dinilai sebagai ibadah. Kecil yang dilakukan tetapi besar pahalanya di sisi Allah. Ringan yang dikerjakan namun berat timbangan di hadapan Allah. Apalagi jika amal yang besar dan berat, tentu akan mampu melesatkan hamba ke derajat kemuliaan dan meraih kenikmatan surga-Nya.
Datangnya Ramadhan bagi orang Mukmin adalah laksana 'kekasih' yang sangat ia rindukan; dengan sukacita ia akan menyiapkan segala sesuatu yang dapat mengantarkan perjumpaan menjadi penuh makna, berkesan dalam dan senantiasa melahirkan harapan-harapan mulia.
Begitu dasyatnya kemuliaan Ramadhan, Rasulullah saw. di penghujung bulan Sya'ban berkhutbah di hadapan manusia menjelaskan berbagai keutamaannya:
Wahai manusia sekalian...
Akan datang menaungi kalian bulan yang agung dan penuh berkah; bulan yang di dalamnya terdapat malam yang lebih baik dari seribu bulan; bulan yang di dalamnya Allah wajibkan berpuasa dan melaksanakan qiyâm tathawwu' (salat sunnah tarawih). Siapa saja pada bulan itu mendekatkan diri dengan sebuah amal kebaikan, ia seperti telah melaksanakan kewajiban...Siapa saja yang mengerjakan kewajiban, ia seperti melaksanakan tujuh puluh kewajiban...
Ramadhan adalah bulan sabar. Sabar itu pahalanya surga. Ramadhan adalah bulan memberi pertolongan dan bulan Allah memberikan rezeki kepada Mukmin. Siapa saja yang memberi makan berbuka seseorang yang berpuasa, yang demikian itu merupakan pengampunan bagi dosanya dan keselamatan dirinya dari neraka. Orang yang memberikan makanan itu memperoleh pahala seperti orang yang berpuasa tanpa sedikitpun berkurang...Allah memberikan pahala kepada orang yang memberi sebutir kurma, atau seteguk air, atau sehirup susu.
Dialah bulan yang permulaannya rahmat, pertengahannya ampunan dan akhirnya pembebasan dari neraka. Siapa saja yang meringankan beban dari budak sahaya (termasuk di sini para pembantu rumah) niscaya Allah mengampuni dosanya dan menyelamatkannya dari neraka. Karena itu, perbanyaklah empat perkara di bulan Ramadhan; dua perkara untuk mendatangkan keridhaan Tuhan kalian dan dua perkara lagi yang sangat kalian butuhkan. Dua perkara yang pertama ialah mengakui dengan sesungguhnya bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan memohon ampunan-Nya. Dua perkara yang sangat kalian perlukan ialah memohon surga dan perlindungan dari neraka... (HR Ibnu Huzaimah).
Kemulian dan keistimewaan Ramadhan juga terlukis dalam hadis Nabi saw. melalui penuturan Abu Hurairah ra.:
«إِذَا جَاءَ رَمَضَانُ فُتِحَتْ أَبْوَابُ الْجَنَّةُ وَ غُلِّقَتْ أَبْوَابُ النَّارُ وَ صُفِّدَتِ الشَّيَاطِيْنُ»
Jika Ramadhan datang, pintu-pintu surga dibuka; pintu-pintu neraka ditutup; dan setan-setan dibelenggu (HR Muslim).
Derajat yang Harus Diraih
Kita patut merenungkan kembali firman Allah SWT:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana puasa itu diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian, agar kalian bertakwa. (QS al-Baqarah [2]: 183).
Dari ayat ini, tanpa harus melalui pengkajian mendalam kita memahami bahwa target akhir dari pelaksanaan kewajiban shaum adalah takwa. Artinya, shaum adalah medium sekaligus momentum perubahan untuk mewujudkan individu dan masyarakat yang bertakwa.
Ayat tersebut diserukan kepada orang-orang yang beriman. Ini mengisyaratkan bahwa puasa akan mengantarkan pada ketakwaan jika dilakukan atas dorongan keimanan. Amal-amal Ramadhan akan bermakna dan berpengaruh jika didasari oleh keimanan.
Sayangnya, justru di sinilah yang menjadi kelemahan selama ini. Prosesi, ritual dan aktivitas Ramadhan sering tidak didasari oleh iman. Puasa dijalankan sering karena alasan sudah menjadi tradisi, bukan karena keimanan dan harapan akan ridha-Nya. Ramainya majelis zikir dan pengajian bisa jadi lebih karena terbawa suasana religius Ramadhan, bukan didasari oleh keyakinan bahwa semua itu adalah bagian dari kewajiban mengkaji Islam, dakwah, amar makruf nahi mungkar. Program-program religi mungkin diadakan lebih karena alasan bisnis, bukan karena keyakinan sebagai bagian dari kewajiban mewujudkan kehidupan yang islami. Penutupan tempat-tempat maksiat dan penghentian kemaksiatan pun dilakukan untuk menghormati kesucian Ramadhan karena toleransi, bukan didasari oleh keyakinan bahwa segala bentuk kemaksiatan besar ataupun kecil akan mendapatkan azab Allah kelak di akhirat.
Bisa juga Ramadhan selama ini menjadi kurang bermakna dan lemah pengaruhnya karena realitas takwa yang menjadi hikmah puasa itu sendiri belum dihayati. Ketakwaan adalah hikmah dari puasa. Mereka yang berpuasa harus senantiasa memperhatikan dan mengupayakan secara maksimal agar ketakwaan terwujud dalam dirinya. Ketakwaan adalah derajat yang paling mulia bagi hamba yang beriman. Allah SWT berfirman:
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa (QS al-Hujurat [49]: 13).
Hakikat Takwa
Takwa berasal dari kata waqâ-yaqî-waqyan, yang dalam bahasa Arab diubah menjadi taqwa untuk membedakan antara isim dan sifat, yang meliputi makna: menjaga, menjauhi, takut dan berhati-hati. Dalam takwa itu rasa takut dan cinta kepada-Nya menyatu; berjalan seiring dan saling berkelindan. Amirul Mukminin Umar bin Abdul Aziz pernah berkata, takwa kepada Allah itu bukan dengan terus-menerus shaum di siang hari, shalat di malam hari atau sering melakukan kedua-duanya; takwa kepada Allah tidak lain adalah dengan meninggalkan apa saja yang Allah haramkan dan menunaikan apa saja yang Allah wajibkan. Siapa yang melakukan kebaikan setelah itu, itu adalah tambahan kebaikan di atas kebaikan.
Para Sahabat yang mulia, sebagaimana yang dinyatakan oleh Imam Ali bin Abi Thalib kw., sering menyatakan bahwa takwa adalah:
اَلْخَوْفُ مِنَ الْجَلِيْلِ وَ الْعَمَلُ بِالتَنْزْيِلِ وَ اْلإِسْتِعْدَادُ لِيَوْمِ الرَّحِيْلِ
(Takut kepada Zat Yang Mahaagung; mengamalkan al-Quran; menyiapkan diri untuk menyambut datangnya hari yang kekal [akhirat]).
Dengan kata lain, takwa adalah kesadaran akal dan jiwa serta pengetahuan syar'i akan wajibnya mengambil halal-haram sebagai standar bagi seluruh aktivitas dan merealisasikannya secara praktis ('amalî) di tengah-tengah kehidupan. Nilai esensial dari seluruh ibadah wajib dan sunnah pada bulan Ramadhan ini harus mewujud dalam sebuah spektrum jiwa yang pasrah, tunduk dan sepenuhnya berjalan di bawah kesadaran ketuhanan (ihsân). Semua ini bermuara pada sebuah kesadaran bahwa Allahlah satu-satunya yang wajib disucikan (dengan hanya beribadah kepada-Nya) baik di kesunyian ataupun di keramaian; dalam kesendirian maupun berjamaah; di waktu malam ataupun siang; dalam keadan sempit atau lapang; di daratan ataupun di lautan. Semua itu mengalir sampai ujung batas kesempatan hidupnya.
Ketakwaan Personal dan Sosial
Takwa harus tercermin dalam kesediaan seorang Muslim untuk tunduk dan patuh pada hukum Allah. Kesediaan kita untuk tunduk dan patuh pada seluruh hukum syariah Islam inilah realisasi dari ketakwaan dan kesalihan personal kita.
Secara personal, hukum syariah seperti shalat, puasa, zakat, memakai jilbab, berakhlak mulia, berkeluarga secara islami; atau bermuamalah seperti jual-beli, sewa-menyewa secara syar'i dan sebagainya bisa dilaksanakan saat ini juga. Begitu ada kemauan, semua itu bisa dilakukan.
Namun, dalam konteks sosial, banyak hukum syariah yang saat ini seolah begitu sulit dilakukan, seperti:
1. Peradilan/persanksian (misal: qishâsh, potong tangan bagi pencuri, cambuk/rajam bagi pezina, cambuk bagi peminum khamr, dsb).
2. Ekonomi (misal: hukum tentang kepemilikan, pengelolaan kekayaan milik umum, penghapusan riba dari semua transaksi, dsb).
3. Politik Luar Negeri (misal: dakwah ke luar negeri dan jihad/perang).
4. Kewarganegaraan (misal: hukum tentang status kafir dzimmi, musta'min dan mu'âhad).
Kaum Muslim sesungguhnya diperintahkan untuk menjalankan semua hukum syariah tersebut. Kaum Muslim juga diperintahkan untuk memutuskan semua perkara di tengah-tengah masyarakat dengan hukum-hukum Allah. Sebagaimana hukum-hukum yang bersifat personal wajib dilaksanakan, demikian pula dengan hukum-hukum yang bersifat sosial. Hanya saja, semua hukum yang terkait dengan pengaturan masyarakat di atas adalah kewenangan penguasa/pemerintah, bukan kewenangan individual/personal. Karena itu, justru di sinilah pentingnya kaum Muslim memiliki penguasa (yakni Khalifah) dan sistem pemerintahan yang sanggup menerapkan hukum-hukum Islam di atas (yakni Khilafah). Inilah wujud ketakwaan kita secara sosial. Ketakwaan dan kesalihan sosial ini dengan sendirinya mendorong kita untuk gigih memperjuangkan penerapan semua hukum-hukum Allah terkait dengan masalah sosial kemasyarakatan tersebut.
Selama bulan Ramadhan ini, kita secara ruhiah memang dilatih untuk meningkatkan ketundukan dan ketaatan pada syariah. Pada bulan Ramadhan ini, hal-hal yang notabene biasa kita lakukan di luar Ramadhan—seperti makan, minum dan berhubungan suami-istri—ternyata bisa kita tinggalkan. Jika yang halal saja (di luar Ramadhan) bisa kita tinggalkan pada bulan Ramadhan ini, apalagi yang haram. Jika yang sunnah seperti shalat tarawih, sedekah dan sebagainya saja bisa kita lakukan, apalagi yang wajib. Artinya, dengan kemauan yang besar, semua hukum syariah yang Allah bebankan kepada kita, pasti bisa kita laksanakan. Ramadhan yang segera akan menyapa kita adalah madrasah untuk mewujudkan itu semua.
Akhirnya, marilah kira merenungkan firman Allah SWT:
Sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, Kami akan membukakan pintu keberkahan atas mereka dari langit dan bumi (QS al-A'raf [7]: 96).
Wallâhu a'lam bi ash-shawab. []
KOMENTAR:
Kerugian Indonesia dari kontrak ekspor gas ke Cina mencapai Rp 350 triliun (Republika, 26/8/2008).
Ironis! Gas diekspor sangat murah, sementara rakyat menjerit karena harga gas di dalam negeri sangat mahal
No comments:
Post a Comment