Tuesday, August 12, 2008

AS Menghendaki Papua...




AS MENGHENDAKI

PAPUA LEPAS DARI INDONESIA

Buletin Al Islam Edisi  418

 

 

Sebagaimana diberitakan sejumlah media, beberapa waktu lalu 40 anggota Kongres AS mengirimkan sepucuk surat kepada Presiden RI, Susilo Bambang Yudoyono. Surat bertanggal 29 Juli 2008 tersebut intinya adalah meminta Presiden SBY untuk membebaskan "segera dan tanpa syarat" dua orang aktivis sparatis Papua, yakni anggota Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang bernama Filep Karma dan Yusak Pakage. Sebagaimana diketahui, keduanya telah mengibarkan Bendera Bintang Kejora di Abepura, 1 Desember 2004 lalu. Kemudian, pada Mei 2005, pengadilan menjatuhkan hukuman 14 tahun penjara terhadap keduanya (Republika, 11/8/2008).

 

Kita tentu patut prihatin karena di Papua memang sedang terjadi upaya disintegrasi. Pangkal masalahnya adalah adanya pihak asing yang terus memanas-manasi, bahkan mendorong terjadinya kegiatan sparatis tersebut. Upaya disintegrasi ini memang telah dilakukan secara sistematis, dengan cara menginternasionalisasi isu Papua. Asing, terutama AS, sangat jelas telah merancang upaya pemisahan Papua ini dari wilayah Indonesia. Hal ini antara lain dibuktikan dengan beberapa fenomena berikut:

 

1.      Kehadiran Sekretaris Kedubes Amerika dan utusan Australia, Inggris dan negara asing lainnya dalam Kongres Papua pada tanggal 29 Mei hingga 4 Juni 2000 yang lalu. Dalam Kongres tersebut, mereka menggugat penyatuan Papua dalam NKRI yang dilakukan pemerintah Belanda, Indonesia dan PBB pada masa Soekarno. Menurut Kongres tersebut, "bangsa" Papua telah berdaulat sebagai bangsa dan negara sejak 1 Desember 1961. Selanjutnya Kongres meminta dukungan internasional untuk memerdekakan Papua (Kompas, 5/6/2000).

 

2.      Kasus penembakan yang terjadi di Mile 62-63 Jalan Timika–Tembagapura pada 31 Agustus 2002. Peristiwa tersebut merenggut 3 nyawa karyawan Freeport Indonesia, masing-masing 2 warga negara AS dan 1 WNI, serta melukai 11 orang, 1 di antaranya anak-anak. Kasus ini terus diangkat oleh AS ke dunia internasional. Bahkan FBI dan CIA berdatangan ke Papua untuk mengusut peristiwa tersebut. Sejak saat itu, persoalan Papua berhasil diangkat oleh AS menjadi perhatian negara-negara di dunia maupun masyarakat internasional sebagai kasus pelanggaran HAM.

 

3.      Kongres AS membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) 2601 yang memuat masalah Papua di Amerika pada bulan Juli 2005, yang akhirnya disetujui oleh Kongres AS. RUU tersebut menyebutkan adanya kewajiban Menteri Luar Negeri AS untuk melaporkan kepada Kongres tentang efektivitas otonomi khusus dan keabsahan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969.

 

4.      Akhir 2005, Kongres AS mempermasalahkan proses bergabungnya Irian Barat (Papua) dengan Indonesia. Padahal sejarah mencatat, bahwa pendukung utama integrasi tersebut adalah Amerika sendiri, dimana persoalan Indonesia dianggap sebagai bagian dari masalah AS.

5.      Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), Syamsir Siregar (22/3/2006), menduga ada upaya LSM yang didanai asing hingga terjadi kerusuhan di Abepura. Wakil dari LSM saat berbicara bersama seorang anggota Komisi I DPR-RI—dalam dialog di salah satu stasiun TV nasional (22/3/2006)—tidak secara tegas menolak hal itu. Ternyata, hingga saat ini pun, ada upaya sistematis untuk mengadu-domba antarumat beragama di Papua, antara kelompok Muslim dengan Muslim di satu sisi, dan Muslim dengan non-Muslim di sisi lain. Tulisan International Crisis Group (ICG), yang dirilis Juni 2008 lalu jelas mengisyaratkan hal ini.

 

6.      Pemberian visa sementara bagi pencari suaka pada 42 aktivis pro-kemerdekaan Papua oleh Australia. Menteri Imigrasi Australia (23/3/2006) Amanda Vanston mengatakan, "Ini didasarkan pada bukti yang disampaikan oleh individu sendiri serta laporan dari pihak ketiga." Siapa yang dimaksud pihak ketiga, itu tidak pernah dijelaskan. Namun, umumnya pihak ketiga itu adalah NGO atau LSM yang didanai oleh asing. Pemberian suaka ini juga merupakan hal penting, sebab terkait dengan upaya kemerdekaan Papua melalui proses internasionalisasi.

 

7.      Anggota Kongres AS, Eny Faleomavaega, kembali melakukan kunjungan ke Indonesia pada 28/11/2007. Secara khusus Eny melakukan kunjungan ke sejumlah wilayah Papua seperti Biak dan Manokwari. Alasan yang disampaikan oleh Eny adalah melihat langsung kondisi Papua setelah enam tahun otonomi khusus (otsus). Jika kita menelaah rangkaian kunjungan dan aktivitasnya selama ini, kedatangan Eny Faleomavaega ke Papua sebenarnya semakin mengokohkan opininya, bahwa Papua memang layak untuk merdeka.

 

8.      Pada 16 Juni 2008, ICG mengeluarkan laporan "Indonesia: Communal Tensions in Papua". Di sana ditulis, "Konflik Muslim dengan Kristen di Papua dapat meningkat jika tidak dikelola dengan baik. Kaum Kristen merasa 'diserang' oleh kaum migrasi Muslim dari luar Papua. Mereka merasa Pemerintah mendukung aktivitas Islam untuk mengekpansi minoritas non-Muslim. Kaum Muslim pindahan itu memandang demokrasi dapat diarahkan menjadi tirani mayoritas sehingga posisi mereka di sana terancam". Laporan ini lebih merupakan propaganda dan upaya adu domba.

 

Sementara itu, surat tertanggal 29 Juli 2008 dari 40 anggota Kongres AS yang mereka kirim kepada Presiden SBY, dalam alinea terakhirnya manyatakan, "We urge you to take action to ensure the immediate and unconditional release of Mr. Karma and Mr. Pakage. Any security officials who mistreated Mr. Karma or who may have employed inappropriate force against peaceful demonstrators should be prosecuted. Such steps would be an important indicator that Indonesia, as a member of the UN Human Rights Council, takes its international obligations to fully respect universally recognized human rights." (Kami mendesak Anda untuk membebaskan segera dan tanpa syarat Mr. Karma dan Mr. Pakage. Siapapun aparat keamanan yang memperlakukan Mr. Karma dengan buruk atau mungkin melakukan kekerasan terhadap para pendemo yang melakukan aksi damai, maka aparat tersebut harus dihukum. Tindakan semacam itu merupakan indikator penting, bahwa Indonesia sebagai anggota Dewan HAM PBB, telah melakukan kewajiban internasionalnya untuk benar-benar menghormati HAM yang telah diakui secara universal).

 

Surat tersebut ternyata dimuat dan dipuji-puji dalam situs resmi The East Timor and Indonesia Action Network (ETAN). ETAN adalah LSM internasional asal AS yang berpengalaman menjadi salah satu arsitek lepasnya Timor Timur dari Indonesia.

 

Surat anggota Kongres AS ini jelas semakin membuktikan adanya intervensi terhadap Pemerintah Indonesia, sekaligus membuktikan bahwa AS mendukung upaya disintegrasi tersebut.

 

 

Wahai kaum Muslim:

 

 

Kita tidak boleh lengah, dengan mengatakan, bahwa sikap 40 anggota Kongres AS ini hanyalah sikap pribadi, bukan sikap resmi pemerintah. Sebagai negara penjajah, AS tentu tidak akan tinggal diam, sebelum Indonesia benar-benar bisa dikuasai dan dicengkram sepenuhnya. Caranya dengan menciptakan konflik di dalam negeri dan terus memicu terjadinya disintegrasi, hingga benar-benar lepas satu persatu. Kenyataan inilah yang pernah mereka lakukan terhadap Timor Timur. Hal yang sama, kini tengah mereka lakukan di Papua dan Sudan Selatan.

 

Karena itu, kami menyerukan kepada Presiden SBY beserta seluruh jajaran pemerintahan, termasuk para anggota wakil rakyat di DPR, untuk tidak tunduk pada campur tangan dan tekanan asing yang bertujuan untuk memecah-belah keutuhan wilayah Indonesia.

 

Kami juga menyerukan kepada umat Islam, khususnya di Papua, agar bersatu dengan umat Islam di seluruh Indonesia untuk menolak rancangan negara kafir penjajah guna memisahkan diri dari wilayah Indonesia. Sebab, upaya pemisahan diri dari wilayah Islam merupakan dosa besar di hadapan Allah SWT. Dengan tindakan ini, umat Islam di Papua tidak akan pernah mendapatkan kebaikan sedikit pun, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Dengan memisahkan diri, umat Islam di Papua akan menjadi minoritas. Setelah itu, mereka akan mengalami nasib yang sama seperti saudara-saudara Muslim mereka di Timor Timur pasca pemisahan diri dari Indonesia. Mereka diusir dari rumah dan negeri mereka sendiri. Bahkan sangat mungkin mereka akan mengalami inkuisisi sebagaimana yang pernah dialami oleh kaum Muslim di Spanyol.

 

Kami juga menyerukan kepada umat Kristiani, baik di Papua maupun di seluruh Indonesia, agar menolak hasutan dan fitnah yang dihembuskan oleh negara-negara penjajah. Meski mereka seagama, mereka tidak pernah peduli dengan nasib Anda. Yang mereka pedulikan adalah kekayaan alam Papua yang melimpah. Dengan lepas dari Indonesia, Anda pun tidak akan luput dari penjajahan, sebagaimana nasib saudara-saudara Anda di Timor Timur. Bahkan nasib mereka tidak lebih baik, dibanding dengan ketika mereka bersama dengan Indonesia. Hingga kini, mereka pun masih belum merdeka, bahkan untuk disebut negara pun masih belum layak.

 

 

Wahai kaum Muslim:

 

 

Kami melihat, bahwa tindakan 40 anggota Kongres AS dan upaya pemisahan diri dari wilayah Indonesia ini merupakan tindakan politik. Tindakan politik harus dihadapi dengan tindakan dan kebijakan politik. Tindakan dan kebijakan politik ini tentu membutuhkan kemauan dan keberanian politik. Kemauan dan keberanian politik tersebut bukan hanya dari penguasa, tetapi juga dari rakyat.

 

Namun sayang, saat ini partai-partai politik yang seharusnya memainkan peranan ini, nyaris tidak berbuat apa-apa. Mereka saat ini lebih disibukkan dengan urusan Pemilu. Rakyat pun sama. Padahal di depan mereka ada bahaya disintegrasi yang sudah mengancam di depan mata.

 

Karena itu, kami menyeru semua pihak, baik pemerintah, DPR/MPR, TNI, Polri, para pimpinan parpol, ormas, tokoh dan seluruh masyarakat untuk mengambil bagian dalam upaya mencegah terjadinya disintegrasi ini. Kesalahan pada masa lalu tidak boleh terulang kembali. Nabi saw. ingatkan,

 

 

لاَ يُلْدَغُ الْمُؤْمِنُ مِنْ جُحْرٍ وَاحِدٍ مَرَّتَيْنِ

 

Tidak layak seorang Mukmin dipatuk oleh ular pada lubang yang sama dua kali (HR Muslim).

 

 

Kami juga mengingatkan seluruh rakyat dan para penguasa di negeri ini, bahwa inilah fakta negeri kita, yang selalu dipandang sebelah mata. Inilah fakta negeri-negeri kaum Muslim yang lainnya. Inilah buah sekularisme yang diterapkan di negeri ini, dan negeri-negeri kaum Muslim yang lainnya.

 

Solusinya tidak ada lagi, kecuali syariah. Hanya syariahlah yang bisa menggantikan sistem sekular. Dengan Khilafah, Indonesia dan negeri-negeri kaum Muslim lain akan menjadi negara adidaya dan diperhitungkan dunia, mampu mencegah disintegrasi, sekaligus menyatukan negeri-negeri Islam di bawah satu bendera. []

 

 

Komentar al-Islam:

 

Hasil Penelitian LIPI: Ongkos Pemilu Langsung di Indonesia selama lima tahun tidak kurang dari Rp 400 triliun (Syafii Maarif, "Resonansi", Republika/12/2008).

 

Ironis! Sudah mahal, Pemilu melahirkan banyak kepala daerah/wakil rakyat yang korup.




1 comment:

Anonymous said...

musuh2 sudah menggerogoti ...