Friday, September 26, 2008

Selamat Lebaran Ya….



Selamat Lebaran Ya….

Suci mengucapkan Minal Aidhin Wal Faidzin, mohon maaf lahir dan bathin.

Selamat Hari raya Idul Fitri 1429 H.

Untuk sementara Blognya dinonaktifkan dlu….
Soalnya suci mo Liburan :D:D

Baca Selengkapnya ...

Monday, September 22, 2008

Perlakuan Negara Khilafah Terhadap Non Muslim

HTI-Press. Masih banyak orang yang menganggap bahwa penerapan hukum Islam atas non-Muslim hanya berujung pada kerusuhan, pertumpahan darah, dan perpecahan. Ada ketakutan di kalangan non-Muslim, seolah-olah hidup di bawah naungan hukum Islam akan menjadi awal kehancuran kehidupan mereka. Di Dunia Islam, ketakutan ini dimanfaatkan untuk menjustifikasi diambilnya langkah-langkah keras untuk menangani aktivis Muslim yang menyerukan penerapan hukum syariat dengan menegakkan Negara Khilafah.

Negara-negara Barat imperialis, bersama-sama dengan media dan para penguasa di Dunia Islam yang menjadi antek-antek mereka, dibarengi dengan pengawasan ketat terhadap para pengemban dakwah, memanfaatkan isu-isu seperti penerapan hukum syariat untuk mengolok-olok dan menyerang gagasan penerapan Islam. Mereka masih khawatir jika hukum syariat Islam diterapkan secara benar, hal ini akan melahirkan negara yang keadidayaannya tidak pernah tersaingi oleh negara manapun. Bersatunya begitu banyak orang, dengan latar belakang yang sangat beragam tidak pernah terjadi kecuali di era Khilafah.

Karena itu, kita paham, mengapa negara-negara Barat imperialis memiliki agenda untuk merusak citra Islam, (yaitu) supaya Islam tidak dipandang sebagai alternatif bagi ideologi Kapitalis. Untuk memperoleh gambaran yang jernih perihal nasib orang-orang non-Muslim dalam Negara Khilafah, harus dijelaskan kepada kaum Muslim maupun non Muslim, bagaimana Negara Khilafah memperlakukan orang-orang non Muslim yang ada di wilayah kekuasaan Negara Khilafah Islam. Ini diperlukan, agar kekhawatiran dan kesalahpahaman berbagai pihak bisa hilang dengan sendirinya, sekaligus dapat meng-counter berbagai tuduhan keji dari musuh-musuh Islam yang tidak suka dengan kembali diterapkannya syariat Islam.

Non-Muslim adalah Ahlu Dzimmah

Allah Swt menurunkan syariat Islam kepada Rasulullah saw sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia, apapun warna kulit, agama, ras, dan segala latar belakang mereka.

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ

Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. (TQS. al-Anbiya [21]: 107)

Jika kita kaji syariat dengan baik, maka kita akan melihat betapa syariat Islam telah memberikan panduan rinci bagaimana menangani urusan kaum Muslim, juga non-Muslim, yang hidup di bawah naungan Negara Khilafah. Penerapan syariat terhadap non-Muslim merupakan metode praktis dakwah Islam kepada non-Muslim. Adakah cara yang lebih baik bagi non-Muslim untuk melihat kebenaran Islam selain dengan hidup berdasarkan sistem Islam itu sendiri, dan mengalami kedamaian dan keadilan hukum Allah Swt?

Dalam hukum Islam, warganegara Khilafah yang non-Muslim disebut sebagai dzimmi. Istilah dzimmi berasal dari kata dzimmah, yang berarti "kewajiban untuk memenuhi perjanjian". Islam menganggap semua orang yang tinggal di Negara Khilafah sebagai warganegara Negara Islam, dan mereka semua berhak memperoleh perlakuan yang sama. Tidak boleh ada diskriminasi antara Muslim dan dzimmi. Negara harus menjaga dan melindungi keyakinan, kehormatan, akal, kehidupan, dan harta benda mereka.

Kedudukan ahlu dzimmah diterangkan oleh Rasulullah saw dalam sabdanya:

"Barangsiapa membunuh seorang mu'ahid (kafir yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, maka ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun". (HR. Ahmad)

Imam Qarafi menyinggung masalah tanggung jawab negara terhadap ahlu dzimmah. Ia menyatakan, "Kaum Muslim memiliki tanggung jawab terhadap para ahlu dzimmah untuk menyantuni, memenuhi kebutuhan kaum miskin mereka, memberi makan mereka yang kelaparan, menyediakan pakaian, memperlakukan mereka dengan baik, bahkan memaafkan kesalahan mereka dalam kehidupan bertetangga, sekalipun kaum Muslim memang memiliki posisi yang lebih tinggi dari mereka. Umat Islam juga harus memberikan masukan-masukan pada mereka berkenaan dengan masalah yang mereka hadapi dan melindungi mereka dari siapa pun yang bermaksud menyakiti mereka, mencuri dari mereka, atau merampas hak-hak mereka."

T.W. Arnold, dalam bukunya The Preaching of Islam, menuliskan bagaimana perlakuan yang diterima oleh non-Muslim yang hidup di bawah pemerintahan Daulah Utsmaniyah. Dia menyatakan, "Sekalipun jumlah orang Yunani lebih banyak dari jumlah orang Turki di berbagai provinsi Khilafah yang ada di bagian Eropa, toleransi keagamaan diberikan pada mereka, dan perlindungan jiwa dan harta yang mereka dapatkan membuat mereka mengakui kepemimpinan Sultan atas seluruh umat Kristen".

Arnold kemudian menjelaskan; "Perlakuan pada warga Kristen oleh pemerintahan Ottoman -selama kurang lebih dua abad setelah penaklukkan Yunani- telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa. Kaum Kalvinis Hungaria dan Transilvania, serta negara Unitaris (kesatuan) yang kemudian menggantikan kedua negara tersebut juga lebih suka tunduk pada pemerintahan Turki daripada berada di bawah pemerintahan Hapsburg yang fanatik; kaum protestan Silesia pun sangat menghormati pemerintah Turki, dan bersedia membayar kemerdekaan mereka dengan tunduk pada hukum Islam… kaum Cossack yang merupakan penganut kepercayaan kuno dan selalu ditindas oleh Gereja Rusia, menghirup suasana toleransi dengan kaum Kristen di bawah pemerintahan Sultan."

Kategori non-Muslim

Syariat Islam berlaku untuk semua ahlu dzimmah. Ahlu dzimmah mencakup seluruh mu'ahid (orang-orang yang terikat perjanjian dengan Negara Khilafah) dan musta'min (individu yang memasuki wilayah Negara Khilafah dengan ijin), selain dari para diplomat yang diperlakukan berdasarkan perjanjian bersama dengan negara lain.

Ada dua kategori ahlu dzimmah. Pertama adalah Ahli Kitab, dan kategori kedua adalah umat-umat agama lainnya. Ahli Kitab terdiri atas umat Yahudi dan Kristen. Syariat menyatakan bahwa umat Islam diperbolehkan memakan binatang-binatang sembelihan mereka, dan para lelaki Muslim diperbolehkan menikahi perempuan-perempuan Ahli Kitab. Sementara umat agama lainnya memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan Ahli Kitab, namun binatang sembelihan mereka tidak boleh dimakan oleh umat Islam, dan perempuan-perempuan mereka tidak boleh dinikahi oleh lelaki Muslim. Bukti untuk hal ini ialah:

Non-Muslim Berhak Menjalankan Kepercayaan Mereka

Allah Swt menyatakan:

لاَ إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ

Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (TQS. al-Baqarah [2]: 256)

Ayat tersebut menyatakan bahwa Negara Islam tidak diperbolehkan memaksa orang-orang non-Islam untuk meninggalkan kepercayaan mereka. Namun umat non-Muslim harus menerima Islam bila telah meyakini akidah Islam secara intelektual. Ini terbukti melalui fakta bahwa hingga hari ini masih ada komunitas Yahudi dan Kristen yang tinggal di kawasan Timur Tengah walaupun Negara Islam telah berkuasa di kawasan tersebut selama 1300 tahun.

Kita melihat penerapan peraturan ini secara praktis selama masa pemerintahan Khilafah Utsmaniyah. T.W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam, menyatakan bahwa Uskup Agung Kristen dan Sinoda Agung bebas memutuskan segala hal yang berkenaan dengan keyakinan dan dogma tanpa menerima intervensi apapun dari negara. Hal ini justru tidak pernah terjadi pada masa pemerintahan para Kaisar Byzantium.

Non-Muslim Mengikuti Aturan Agama Mereka dalam Hal Makanan dan Pakaian

Dalam hal makanan dan pakaian, umat non-Muslim berhak mengikuti aturan agama mereka tentang tata kehidupan publik.

Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan: "Islam membolehkan ahlu dzimmah meminum minuman keras, memakan daging babi, dan menjalankan segala aturan agama mereka dalam wilayah yang diatur oleh syariat."

Maka, selama hal tersebut dilakukan secara privat dan tidak dilakukan di ruang publik, Negara Islam tidak punya urusan untuk mengusik masalah-masalah pribadi mereka. Namun bila, misalnya seorang ahlu dzimmah membuka toko yang menjual minuman keras, maka dia akan dihukum berdasarkan aturan syariat Islam.

Urusan Pernikahan dan Perceraian Antar Non-Muslim Dilakukan Menurut Aturan Agama Mereka

Umat non-Islam diijinkan untuk saling menikah antar mereka berdasarkan keyakinannya. Mereka dapat dinikahkan di Gereja atau Sinagog oleh Pendeta atau Rabbi. Mereka juga dapat bercerai menurut aturan agama mereka.

Syariat membolehkan seorang lelaki Muslim untuk menikahi perempuan Ahli Kitab. Al-Qur'an menyatakan:

الْيَوْمَ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ وَطَعَامُ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حِلٌّ لَّكُمْ وَطَعَامُكُمْ حِلُّ لَّهُمْ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الْمُؤْمِنَاتِ وَالْمُحْصَنَاتُ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ مِن قَبْلِكُمْ إِذَا آتَيْتُمُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ مُحْصِنِينَ غَيْرَ مُسَافِحِينَ وَلاَ مُتَّخِذِي أَخْدَانٍ وَمَن يَكْفُرْ بِالإِيمَانِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ

Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman, dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman (tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya, dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi. (TQS. al-Maidah [5]: 5 )

Dengan demikian, maka masalah pernikahan, perceraian, dan masalah-masalah keluarga lainnya, termasuk anak-anak, harus diurus berdasarkan syariat Islam.

Non-Muslim Wajib Mengikuti Syariat Islam dalam Masalah Hubungan Sosial Kemasyarakatan

Masalah lain dan aturan-aturan lain yang digariskan syariat Islam, seperti sistem sanksi, sistem peradilan, sistem pemerintahan, ekonomi, dan kebijakan luar negeri, diterapkan oleh Negara Islam pada semua orang secara sama, tanpa memandang Muslim atau non-Muslim.

Sistem Sanksi

Muslim dan non-Muslim wajib dikenakan hukuman karena kejahatan yang mereka lakukan berdasarkan hukum Islam. Beberapa contoh di bawah ini jelas menunjukkan hal tersebut.

· Nabi Muhammad saw bersabda: "Demi Allah, jika Fatimah binti Muhammad mencuri, akan kupotong tangannya."

· Umar bin Khaththab ra menghukum puteranya sendiri ketika ia menjabat sebagai Khalifah.

· Ibnu Umar meriwayatkan: "Dua orang Yahudi didakwa karena berzina dan dibawa ke hadapan Nabi saw, beliau kemudian memerintahkan agar mereka dirajam."

· Anas meriwayatkan: "Seorang Yahudi membunuh seorang gadis dengan batu, Rasulullah saw pun kemudian membunuhnya."

· Mazhab Imam Abu Hanifah menyatakan: "Bila seorang Muslim membunuh siapapun dari kalangan ahlu dzimmah, maka dia wajib dihukum dengan dibunuh pula, ini berlaku baik pada perempuan maupun lelaki."

Sistem Peradilan

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُونُواْ قَوَّامِينَ لِلّهِ شُهَدَاء بِالْقِسْطِ وَلاَ يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَى أَلاَّ تَعْدِلُواْ اعْدِلُواْ هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَاتَّقُواْ اللّهَ إِنَّ اللّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ ﴿٨﴾

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (TQS. al-Maidah [5]: 8 )

Di mata hukum, tidak ada perbedaan antara non-Muslim dengan Muslim. Hakim (qadli) wajib mencermati pembuktian yang disyaratkan menurut syariat semata, bukan menurut aturan lain. Ada banyak contoh yang menunjukkan bagaimana non-Muslim dapat mengalahkan seorang Muslim di pengadilan.

Pada masa Khalifah Umar bin Khaththab, sejumlah Muslim menyerobot tanah yang dimiliki oleh seorang Yahudi dan mendirikan masjid di atas tanah tersebut. Ini jelas melanggar hak Yahudi tersebut sebagai ahlu dzimmah. Umar kemudian memerintahkan agar masjid tersebut dirubuhkan dan tanah tersebut dikembalikan pada orang Yahudi tersebut.

Dalam kasus lainnya, pada masa pemerintahan Imam Ali, seorang Yahudi mencuri baju zirah milik Khalifah. Ali kemudian mengadukan Yahudi tersebut ke pengadilan dan membawa puteranya sebagai saksi. Hakim menolak gugatan sang Khalifah, dan menyatakan bahwa seorang anak tidak dapat dijadikan saksi dalam perkara yang melibatkan ayahnya di pengadilan. Setelah menyaksikan keadilan tersebut, si Yahudi kemudian mengaku bahwa ia memang mencuri baju tersebut dan kemudian memeluk Islam.

Sistem Ekonomi

قَاتِلُواْ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَلاَ بِالْيَوْمِ الآخِرِ وَلاَ يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللّهُ وَرَسُولُهُ وَلاَ يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُواْ الْكِتَابَ حَتَّى يُعْطُواْ الْجِزْيَةَ عَن يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ ﴿٢٩﴾

Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh, sedang mereka dalam keadaan tunduk. (TQS. at Taubah [9]: 29)

Non-Muslim wajib membayar pungutan tahunan yang disebut jizyah. Sebagai balasannya, Negara Khilafah berkewajiban melindungi mereka. Ali menyatakan, "Dengan dibayarkannya jizyah, maka harta mereka sama nilainya dengan harta kita, dan darah mereka pun seperti darah kita."

Jizyah diambil dari orang-orang dewasa yang sehat akalnya. Jizyah tidak dikenakan pada anak kecil, orang gila, atau wanita. Besaran jizyah tidak diatur secara pasti, namun diserahkan pada opini dan ijtihad Khalifah. Khalifah wajib mempertimbangkan aspek-aspek kesejahteraan dan kemiskinan, sehingga tidak memberatkan kaum dzimmi.

Rasulullah saw pernah mengangkat Abdullah bin Arqam untuk mengurusi masalah jizyah para ahlu dzimmah, dan kala beliau hendak beranjak pergi, Nabi saw memanggilnya kembali dan menyatakan, "Siapapun yang menindas seseorang yang terikat perjanjian (mu'ahid), atau membebaninya melebihi kemampuannya dan menyakitinya, atau mengambil apapun yang menjadi haknya tanpa keikhlasan darinya, maka aku akan menuntut orang (penindas) tersebut pada Hari Perhitungan." (HR. Abu Dawud)

Sebagai contoh, jizyah pada masa Umar bin Khaththab adalah sebagai berikut:

  • 4 dinar untuk golongan kaya (setara £108,00)
  • 2 dinar untuk golongan menengah (setara £54,00)
  • 1 dinar untuk golongan miskin (setara £27,00)

Pungutan ini tidak sama dengan pajak, seperti sistem perpajakan yang amat menindas saat ini. Secara finansial, kesejahteraan ahlu dzimmah terjaga di bawah Negara Islam, dan mereka pun berhak menggarap berbagai bisnis dan melakukan perdagangan.

Cecil Roth, dalam bukunya The House of Nasi: Dona Gracia, menyatakan bahwa perlakuan pada kaum Yahudi di bawah pemerintahan Ottoman telah menarik perhatian kaum Yahudi dari berbagai negeri Eropa Barat. Wilayah Islam pun menjadi lahan emas. Dokter-dokter Yahudi dari Akademi Salanca dipekerjakan untuk mengurusi Sultan dan para Wazir. Di berbagai tempat, industri pembuatan gelas dan penempaan logam menjadi bidang-bidang yang dimonopoli kaum Yahudi, dengan pengetahuan mereka dalam penguasaan bahasa asing, mereka merupakan kompetitor utama bagi para pedagang Venesia.

Hukum syariat menyatakan: "Non-Muslim dari kalangan Ahli Kitab memiliki hak yang sama dengan Muslim untuk apapun yang berasal dari Baitul Mal." Maka, kaum miskin ahlu dzimmah pun berhak mendapatkan bantuan dari Baitul Mal (Kas Negara).

Kondisi ini jelas tidak sama dengan dunia Barat maupun Timur saat ini, yang membatasi imigran dalam hal perekonomian, bersikap rasis pada mereka, serta membuat aturan ketat yang mencegah masuknya kaum imigran. Negara Islam tidak menerapkan kebijakan macam itu. Siapapun yang ingin menjadi warga dari Negara Islam memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan warganegara lainnya. Sultan Bayazid II menyikapi masalah pengusiran kaum Yahudi yang dilakukan oleh Ferdinand, Raja Katolik Spanyol, dengan mengeluarkan pernyataan, "Bagaimana mungkin Ferdinand dapat disebut 'bijak', dia telah memiskinkan wilayah kekuasaannya guna memperkaya dirinya." Sultan kemudian menerima pengungsi Yahudi dengan tangan terbuka. Sama halnya dengan diterimanya kaum Yahudi di Turki setelah Konstantinopel dibebaskan oleh Islam di bawah Muhammad Sang Penakluk (Muhammad al-Fatih)

Non-Muslim Tidak Berhak Memegang Posisi Pengambil Kebijakan

الَّذِينَ يَتَرَبَّصُونَ بِكُمْ فَإِن كَانَ لَكُمْ فَتْحٌ مِّنَ اللّهِ قَالُواْ أَلَمْ نَكُن مَّعَكُمْ وَإِن كَانَ لِلْكَافِرِينَ نَصِيبٌ قَالُواْ أَلَمْ نَسْتَحْوِذْ عَلَيْكُمْ وَنَمْنَعْكُم مِّنَ الْمُؤْمِنِينَ فَاللّهُ يَحْكُمُ بَيْنَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلَن يَجْعَلَ اللّهُ لِلْكَافِرِينَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ سَبِيلاً ﴿١٤١﴾

Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (TQS. an-Nisa [4]: 141)

Ayat ini mengekspresikan larangan bagi non-Muslim (orang kafir) untuk memegang pos-pos kekuasaan atas umat Islam. Selain itu, kaum non Muslim tidak berhak berpartisipasi dalam pemilihan Khalifah.

Majelis Umat

Siapapun yang memiliki kewarganegaraan, bila ia dewasa dan berakal sehat, memiliki hak untuk menjadi anggota Majelis Umat. Dalam hal ini, dia memiliki hak untuk memilih anggota-anggota Majelis, baik perempuan maupun lelaki, baik Muslim maupun non Muslim.

Kaum non Muslim berhak menjadi anggota Majelis Umat, untuk menampung aspirasi kalangan mereka terhadap perlakuan hukum oleh penguasa pada diri mereka, atau untuk mengoreksi kesalahan implementasi hukum Islam atas diri mereka. Diriwayatkan bahwa Abu Bakar ra. berbincang dengan seorang Yahudi bernama Finhas yang diajaknya untuk masuk Islam. Finhas kemudian menjawab, "Demi Allah Abu Bakar, kita tidak memerlukan Allah sebagaimana Ia membutuhkan kita, dan kita tak perlu meminta bantuan-Nya sebagaimana Ia meminta bantuan pada kita. Kita tidak memerlukan-Nya, sementara Dia memerlukan kita. Bila Dia benar-benar Maha Kaya, Dia tak akan meminta pinjaman uang pada kita sebagaimana yang dikatakan oleh temanmu. Dia (Rasulullah saw) melarangmu melakukan riba, namun membolehkan kami (Yahudi) melakukannya, dan bila Dia benar-benar Maha Kaya, Dia tak akan membolehkan kami melakukannya." Dalam hal ini, Finhas mengomentari firman Allah:

مَّن ذَا الَّذِي يُقْرِضُ اللّهَ قَرْضاً حَسَناً فَيُضَاعِفَهُ لَهُ أَضْعَافاً كَثِيرَةً وَاللّهُ يَقْبِضُ وَيَبْسُطُ وَإِلَيْهِ تُرْجَعُونَ

Siapakah yang mau memberi pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan melipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yang banyak. Dan Allah menyempitkan dan melapangkan (rezeki), dan kepada-Nya-lah kamu dikembalikan. (TQS. al-Baqarah [2]: 245)

Abu Bakar tidak terima dengan pelecehan tersebut. Ia memukul wajah Finhas dengan keras sambil berkata, "Demi Allah, bila tidak ada ikatan perjanjian antara engkau dan kami (umat Islam), aku akan membunuhmu, engkau adalah musuh Allah!" Finhas kemudian pergi dan mengadukan pemukulan yang dilakukan Abu Bakar kepada Nabi saw. Nabi saw mendengarkan pengaduannya, lalu menanyai Abu Bakar tentang insiden tersebut. Abu Bakar menceritakan pada Nabi saw tentang apa yang terjadi, namun Finhas kemudian membantah bahwa dia telah melakukan pelecehan. Segera setelah itu, Allah Swt menurunkan wahyu:

لَّقَدْ سَمِعَ اللّهُ قَوْلَ الَّذِينَ قَالُواْ إِنَّ اللّهَ فَقِيرٌ وَنَحْنُ أَغْنِيَاء سَنَكْتُبُ مَا قَالُواْ وَقَتْلَهُمُ الأَنبِيَاءَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَنَقُولُ ذُوقُواْ عَذَابَ الْحَرِيقِ

Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan; 'Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya'. Kami akan mencatat perkataan mereka itu dan perbuatan mereka membunuh Nabi-nabi tanpa alasan yang benar, dan Kami akan mengatakan (kepada mereka); 'Rasakanlah olehmu azab yang membakar'. (TQS. Ali Imran [3]: 181)

Abu Bakar adalah salah seorang pembantu Rasulullah saw pada saat insiden tersebut terjadi, dan Finhas adalah seorang dzimmi. Rasulullah saw mendengarkan pengaduan Finhas atas Abu Bakar, sekalipun yang diadukannya adalah dusta. Karena itu, bila pengaduan diajukan oleh seseorang yang terikat perjanjian dengan negara, maka pengaduan tersebut perlu didengarkan, karena dia terikat perjanjian sebagai ahlu dzimmah.

Namun, non-Muslim tidak berhak menyuarakan opini mereka atas hal-hal yang berkenaan dengan hukum, karena hukum Islam merupakan turunan dari akidah Islam. Kaum non-Muslim meyakini doktrin yang asing dan bertentangan dengan akidah Islam. Karena itu, opini mereka tidak dibutuhkan dalam masalah hukum.

Anggota Majelis dari kalangan non-Muslim tidak memiliki hak untuk mengkaji pengadopsian yang dilakukan Khalifah dalam hal hukum dan peraturan Islam, karena mereka tidak mengimani ajaran Islam. Hak mereka hanyalah untuk menyuarakan opini mereka atas ketidakadilan penguasa terhadap mereka, bukan dalam mengekspresikan opini atas hukum dan peraturan Islam.

T.W. Arnold dalam bukunya The Preaching of Islam, menyatakan: "Kala Konstantinopel kemudian dibuka oleh keadilan Islam pada 1453, Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras, dan untuk itu dikeluarkan sebuah Dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan para penerusnya. Hal yang tak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan sendiri. Sang Uskup juga berhak meminta perhatian pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adil."

Militer

Perlindungan pada ahlu dzimmah merupakan kewajiban bagi seluruh umat Islam. Ahlu Dzimmah tidak diwajibkan bergabung dalam kemiliteran dan berperang untuk membela Negara Islam.

Ibnu Hazm menyatakan, "Salah satu hak yang dimiliki oleh ahlu dzimmah adalah bilamana Negara Islam diserang dan mereka tinggal di wilayah Islam, maka umat Islam wajib melindungi mereka mati-matian. Dalam hal ini, perlakuan lemah lembut adalah hak para ahlu dzimmah."

Namun bila mereka mau, mereka dapat menjadi bagian dari tentara Islam dan berhak mendapat gaji atas kerja mereka. Namun mereka tidak diizinkan untuk memegang posisi pemimpin pasukan dalam kemiliteran.

Pegawai Negeri Sipil

Siapa pun yang memiliki kewarganegaraan dan memiliki kemampuan, lelaki ataupun perempuan, Muslim ataupun non-Muslim, dapat dipilih sebagai direktur atau pegawai departemen administratif. Ini diambil dari aturan tentang pekerja (ijarah), yang membolehkan mempekerjakan orang, terlepas dari apa pun agamanya. Riwayat-riwayat tentang pengupahan tidak mengatur kelompok-kelompok tertentu secara spesifik:

Rasulullah saw sendiri pernah mempekerjakan seorang lelaki non-Muslim dari Bani ad-Dail. Ini menunjukkan bahwa mempekerjakan seorang non-Muslim diperbolehkan, sebagaimana mempekerjakan seorang Muslim.

Kebijakan Luar Negeri

Kebijakan luar negeri Negara Islam adalah mengemban dakwah Islam ke seluruh penjuru dunia. Metode yang ditempuh adalah melakukan jihad pada negara lain. Tujuannya adalah untuk melenyapkan penghalang yang merintangi penerapan aturan Islam dan menunjukkan pesan Islam pada seluruh rakyatnya.

Motivasi penaklukkan negeri-negeri lain semata-mata digerakkan oleh keinginan untuk mencari keridlaan Allah Swt. Penaklukkan tidak boleh dilakukan demi perolehan materi. Karena itu, bila Negara Islam menaklukkan negara lainnya, Negara Islam tidak akan menindas rakyatnya dengan mencuri kekayaan alamnya.

Dalam bukunya, al-Kharaj, Abu Yusuf (yang kepala Qadli di masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid) memberikan laporan sebagai berikut: "Setelah ditandatanganinya perjanjian dengan rakyat Suriah dan mengumpulkan jizyah dan kharaj, Abu Ubaidah menerima berita bahwa pasukan Byzantium telah menyiapkan pasukan untuk menyerang. Berita ini memberikan efek yang dahsyat pada Abu Ubaidah dan umat Islam. Dia mengirimkan pesan pada para penguasa kota-kota yang telah membuat perjanjian, meminta mereka mengembalikan pembayaran jizyah dan kharaj, dengan satu perintah pada mereka, 'Kami kembalikan pada kalian uang kalian yang telah dibayarkan pada kami, karena adanya berita yang menyebutkan pasukan musuh hendak menyerang kami, namun, bila Allah memberikan kemenangan pada kami atas musuh, kami akan menaati janji kami dengan mereka yang terikat perjanjian dengan kami.' Ketika hal ini disampaikan pada kaum ahlu dzimmah dan uang mereka dikembalikan, mereka berkata pada umat Islam, "Semoga Tuhan mengembalikan kalian pada kami, dan memberikan kemenangan pada kalian atas mereka!"

Wilayah-wilayah yang Tak Boleh Ditempati Non-Muslim

Non-Muslim tidak diperbolehkan tinggal di Jazirah Arab, karena Umar meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda, "Aku akan mengusir kaum Yahudi dan Kristen dari Semenanjung Arabia, dan tidak boleh ada yang tinggal di sini kecuali umat Islam" (HR. Muslim)

Yahya meriwayatkan padaku dari Malik dari Ibnu Shihab, bahwa Rasulullah saw bersabda, 'Tidak boleh ada dua agama di Jazirah Arab.' (al-Muwaththa). Selain itu, Yahudi tidak boleh tinggal di al-Quds, karena Ijma para sahabat ketika penandatanganan perjanjian antara Umar bin Khaththab dengan umat Kristen Iliya (al-Quds) saat dia menyatakan, "Tak seorang Yahudi pun boleh tinggal di Iliya."

Integrasi Kaum Non-Muslim ke dalam Khilafah

Atas dasar hal ini, jelas bahwa kaum non-Muslim dapat terintegrasikan dengan baik dalam masyarakat Islam. Agama-agama Yahudi, Kristen, dan lainnya hanya memiliki aturan yang membahas masalah manusia dengan Tuhan dan manusia dengan dirinya sendiri. Dalam dua jenis hubungan tersebut, hukum Islam memungkinkan non-Muslim untuk mengikuti keyakinan mereka sendiri; maka, tak ada konflik dengan non-Muslim.

Dalam hubungan sesama manusia, misalnya dalam hubungan kemayarakatan, kaum non-Muslim tidak memiliki aturan yang mengatur masalah ini. Karena itu, mereka harus mengadopsi sebuah sistem untuk kehidupan mereka di tengah-tengah masyarakat. Sistem Islam, bilamana diterapkan, sejauh ini merupakan sistem yang paling berhasil dalam mengintegrasikan non-Muslim ke dalam masyarakat Islam. Berbagai pemberontakan dan perpecahan yang dilakukan kaum non-Muslim yang hidup di Negara Islam pada zaman dahulu, seperti kaum Kristen di Yunani dan Libanon, terjadi karena adanya campur tangan Inggris dan Perancis yang mendukung pemberontakan tersebut sebagai salah satu upaya menghancurkan Negara Khilafah.

Dengan melakukan kajian atas peraturan Islam terhadap kaum non-Muslim, kita dapat melihat bahwa Negara Khilafah bukanlah sesuatu yang perlu ditakuti oleh kaum non-Muslim. Khilafah adalah sebuah negara yang akan membawa mereka keluar dari kegelapan dan penindasan sistem kapitalis, menuju cahaya dan keadilan Islam. Perlakuan Khilafah pada kaum non-Muslim semacam inilah yang kemudian membuat banyak orang memeluk agama Islam. Jumlah orang yang pindah agama sangat besar sekali hingga akhirnya seluruh suku di Jazirah Arab memeluk Islam. Para penguasa negara pada masa lalu pun banyak yang menulis surat kepada Khalifah agar menerapkan Islam atas mereka. Inilah sebabnya mengapa orang Kristen Ashsham berperang di sisi umat Islam dalam menghadapi serangan Tentara Salib Eropa yang hendak menyerang negara mereka. Di India pada 1920, bahkan banyak umat Hindu yang bergabung dengan gerakan Khilafah yang mencoba mengembalikan tegaknya Negara Khilafah!

إِذَا جَاء نَصْرُ اللَّهِ وَالْفَتْحُ ﴿١﴾ وَرَأَيْتَ النَّاسَ يَدْخُلُونَ فِي دِينِ اللَّهِ أَفْوَاجاً ﴿٢﴾ فَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ وَاسْتَغْفِرْهُ إِنَّهُ كَانَ تَوَّاباً ﴿٣﴾

Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong, maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat. (TQS. an-Nashr [110]: 1-3)

Baca Selengkapnya ...

Wednesday, September 17, 2008

Kembali Ke Fitrah..

 

Alhamdulillah, sudah selayaknya kita banyak bersyukur kepada Allah SWT, karena kita telah berhasil melewati hari-hari Ramadhan hingga memasuki bagian akhir bulan yang penuh berkah ini. Sebentar lagi kita pun akan menyambut satu hari yang indah, Idul Fitri. Namun, kita pun sepatutnya banyak beristigfar, karena boleh jadi—meski ini jelas tidak kita harapkan—ibadah shaum pada hari-hari Ramadhan yang kita lewati itu tidak mengantarkan kita untuk meraih derajat takwa sebagai hikmah dari kewajiban puasa yang telah Allah titahkan kepada kita.

 

            Karena itu, sebelum Ramadhan benar-benar meninggalkan kita, dan Idul Fitri hadir di tengah-tengah kita, sejatinya kita banyak bertafakur dan melakukan muhâsabah (instrospeksi diri): Layakkah kita bergembira merayakan Idul Fitri, yang sering dimaknai sebagai 'kembali ke fitrah' dan juga sebagai 'hari kemenangan'? Pertanyaan ini penting kita jawab dengan jujur, agar kita meninggalkan bulan Ramadhan ini tanpa kesia-siaan serta merayakan Idul Fitri nanti tanpa kehampaan.

 

 

Kembali ke Fitrah

 

 

            Idul Fitri sering diterjemahkan sebagai 'kembali ke fitrah'. Secara bahasa, fithrah berarti al-khilqah (naluri, pembawaan) dan ath-thabî'ah (tabiat, karakter) yang diciptakan Allah Swt. pada manusia. (Jamaluddin al-Jauzi, Zâd al-Masîr, VI/151; az-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, III/463).

 

            Karena itu, secara bahasa Idul Fitri bisa diterjemahkan sebagai 'kembali ke naluri/pembawaan yang asli'. Di antara naluri/pembawaan manusia yang asli adalah adanya naluri beragama (gharîzah at-tadayyun) pada dirinya. Dengan naluri ini, setiap manusia pasti merasakan dirinya serba lemah, serba kurang dan serba tidak berdaya sehingga ia membutuhkan Zat Yang Mahaagung, yang berhak untuk disembah dan dimintai pertolongan. Karena itulah, secara fitrah, manusia akan selalu membutuhkan agama yang menuntun dirinya melakukan penyembahan ('ibâdah) terhadap Tuhannya dengan benar. Itulah Islam sebagai satu-satunya agama dari Allah, Tuhan yang sebenarnya. Konsekuensinya, sesuai dengan fitrahnya pula, manusia sejatinya senantiasa mendudukkan dirinya sebagai hamba di hadapan Tuhannya, Allah SWT, Pencipta manusia.

 

            Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa kembali ke fitrah—sebagai esensi dari Idul Fitri—adalah kembalinya manusia ke jatidirinya yang asli sebagai seorang hamba di hadapan Allah sebagai Tuhannya. Menurut Imam Ja'far ash-Shadiq, seorang Muslim yang mengklaim sebagai hamba Allah mesti menyadari bahwa: (1) apa yang ada pada dirinya bukanlah miliknya, tetapi milik Allah; (2) tunduk, patuh dan tidak pernah membantah setiap perintah Allah; (3) tidak membuat aturan sendiri kecuali aturan yang telah Allah tetapkan untuk dirinya.

 

 

Membuang Sekularisme: Wujud Kembali ke Fitrah

 

 

      Dengan memaknai kembali ke fitrah sebagai 'kembali pada kesadaran sejati sebagai seorang hamba', sudah sepatutnya kaum Muslim yang ber-Idul Fitri membuang jauh-jauh sekularisme. Mengapa? Sebab, sekularisme justru menjauhkan diri manusia dari kedudukannya sebagai seorang hamba Allah. Bahkan sekularisme menempatkan manusia sejajar dengan Tuhan. Pasalnya, sekularisme pada dasarnya adalah akidah yang hanya mengakui Tuhan dari sisi eksistensi (keberadaan)-Nya saja, tidak mengakui otoritas (kewenangan)-Nya untuk mengatur manusia. Dengan kata lain, sekularisme hanya mengakui keberadaan agama, tetapi menolak kewenangan agama untuk mengatur kehidupan. Dalam pandangan sekularisme, hak mengatur manusia atau hak membuat aturan bagi kehidupan manusia mutlak ada pada manusia itu sendiri, bukan pada Tuhan/agama. Hak ini kemudian mereka wujudkan dalam demokrasi, yang menempatkan kedaulatan manusia (kedaulatan rakyat) di atas kedaulatan Tuhan.

 

Dari sini lahirlah ideologi Kapitalisme, yang berisi seperangkat aturan yang khas, yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Saat ini, justru Kapitalismelah—dan bukan Islam—yang diterapkan di tengah-tengah kehidupan umat Islam saat ini, termasuk di negeri ini.

 

Padahal fakta telah membuktikan bahwa peratuan–peraturan yang dibuat manusia—karena lebih didasarkan pada kecenderungan dan hawa nafsunya—telah melahirkan banyak ekses negatif, kerusakan dan kekacauan. Itulah yang terjadi saat ini ketika hak membuat aturan/hukum diberikan kepada manusia (rakyat) melalui mekanisme demokrasi. Mahabenar Allah yang berfirman:

 

 

 ]أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ[

 

Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki. Siapakah yang lebih baik hukumnya daripada Allah bagi orang-orang yang yakin?! (QS al-Maidah [5]: 50).

 

 

Karena itu, perayaan Idul Fitri—yang dimaknai sebagai kembali ke fitrah itu—sudah sepatutnya dijadikan momentum untuk membuang sekularisme, yang memang telah menjauhkan manusia dari fitrahnya yang hakiki sebagai hamba Allah.

 

 

Hari Kemenangan

 

 

Idul Fitri juga sering disebut sebagai hari kemenangan. Artinya, kaum Muslim yang telah berhasil melaksanakan ibadah shaum selama Ramadhan dianggap sebagai kaum yang meraih kemenangan. Persoalannya, shaum seperti apa yang bisa mengantarkan kaum Muslim menjadi kaum yang menang? Tentu shaum yang berkualitas, sebagaimana yang dilakoni oleh Rasulullah saw. dan para Sahabat. Shaum Rasulullah saw. dan para Sahabat tidak hanya memberikan kemenangan kepada diri mereka secara individual dalam melawan hawa nafsu dan setan selama bulan Ramadhan, tetapi juga memberikan kemenangan kepada kaum Muslim secara kolektif dalam melawan musuh-musuh Islam. Mereka dan generasi gemilang sesudahnya justru sering mencatat prestasi gemilang pada bulan Ramadhan. Beberapa peperangan yang dimenangkan kaum Muslim seperti Perang Badar, Fath Makkah (Penaklukan Makkah) atau Pembebasan Andalusia terjadi pada bulan Ramadhan.

 

Kemenangan Perang Badar telah memperkuat posisi kaum Muslim di dunia internasional saat itu, terutama di Jazirah Arab; bahwa negara baru yang dibangun kaum Muslim, Daulah Islam, adalah negara kuat yang tidak bisa disepelekan. Kondisi ini tentu memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara Daulah Islam.

 

Bandingkan dengan kondisi kaum Muslim saat ini. Negeri-negeri Islam terpecah-belah menjadi beberapa negara kecil yang lemah. Kondisi ini membuat musuh-musuh Allah dengan gampang dan sombong membantai dan membunuh kaum Muslim serta mengekspolitasi kekayaan alamnya dengan rakus; tanpa ada pelindung sama sekali.

 

Perang Badar juga secara internal telah membuat pihak-pihak di dalam negeri Daulah Islam—orang-orang Yahudi, musyrik dan munafik—takut untuk berbuat macam-macam terhadap Daulah Islam. Bandingkan dengan keberadaan orang-orang kafir dan antek-antek Barat saat-saat ini di Dunia Islam. Mereka berbuat makar dan kekejian seenaknya. Di negeri-negeri Islam, orang-orang kafir yang didukung oleh para penguasa yang menjadi antek-antek penjajah, membuat berbagai kebijakan yang merugikan rakyat dengan bebasnya.

 

Futûhât juga telah memberikan kebaikan yang luar biasa bagi umat manusia. Lewat futûhât ini dakwah Islam diterima dengan mudah oleh manusia. Futûhât ini juga telah menjadi jalan bagi diterapkannya syariah Islam di seluruh kawasan dunia. Lewat penerapan syariah Islam inilah seluruh warga negera Daulah Islam, baik Muslim maupun non-Muslim, mendapat kebahagian, kesejahteraan dan keamanan. Peradaban Islam pun kemudian menjadi peradaban unggul.

 

Karena itu, ada beberapa hal yang wajib kita teladani dari shaum generasi Sahabat ini. Pertama: para Sahabat tidak hanya melakukan tadarus al-Quran (baik di bulan Ramadhan maupun di luar itu), tetapi juga mengamalkannya. Sebab, para Sahabat memahami bahwa membaca al-Quran adalah sunnah, sementara menjadikan al-Quran sebagai pedoman hidup mereka adalah wajib. Mereka sangat menyadari bahwa al-Quran harus menjadi dasar konstitusi kaum Muslim.

 

Kedua: para Sahabat tidak hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari segala hal yang diharamkan oleh Allah; tidak berdusta, tidak berbuat batil, tidak membuat kerusakan dan tentu saja tidak berhukum pada selain hukum Allah Swt. Mereka tidak seperti kaum Muslim saat ini, yang justru masih berhukum pada perundang-undangan dan sistem kufur yang bersumber dari sekularisme.

 

Ketiga: para Sahabat telah nyata-nyata menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan tobat. Tobat mereka adalah tawbah nasûhâ, tobat yang sebenar-benarnya. Seharusnya saat ini pun kaum Muslim, yang telah menjadikan bulan Ramadhan sebagai bulan tobat, tidak lagi melakukan maksiat meski Ramadhan telah berlalu. Maksiat terbesar yang harus segera ditinggalkan kaum Muslim saat ini adalah ketika mereka tidak menerapkan hukum-hukum Allah dalam seluruh aspek kehidupan akibat ketiadaan Daulah Khilafah Islam di tengah-tengah mereka. Ketiadaan Daulah Khilafah juga berarti umat ini tidak memiliki pelindung dari musuh-musuh Allah.

 

Karena itu, dalam momentum Idul Fitri ini, yang berarti kembali ke fitrah, sudah selayaknya kaum Muslim segera kembali menerapkan semua aturan-aturan Islam (syariah)—yang memang sesuai dengan fitrah manusia—dalam semua aspek kehidupan. Sebaliknya, sudah selayaknya kaum Muslim segera meninggalkan berbagai aturan kufur yang berasal dari sekularisme, yang nyata-nyata bertentangan dengan fitrah manusia, dan terbukti banyak menyengsarakan umat manusia.

 

Karena itu, pada Hari Kemenangan ini, sudah sepatutnya pula kita berjanji kepada Allah, Rasul-Nya, dan kaum Muslim untuk mengerahkan segenap upaya, secara damai, demi tegaknya Khilafah dan syariah Islam. Kita memohon dengan sungguh-sungguh kepada Allah SWT agar menolong kita untuk mewujudkan hal ini sehingga kaum Muslim merasakan kegembiraan yang hakiki karena meraih kemenangan yang juga hakiki, sebagaimana digambarkan Allah SWT dalam firman-Nya:

 

 

]وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ$بِنَصْرِ اللهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ[

 

 

Pada hari (kemenangan) itu bergembiralah kaum Mukmin karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang. (QS ar-Rum [30]: 4-5).

 

 

[]

 

KOMENTAR:

 

21 Tewas Saat Pembagiaan Zakat (Kompas, 16 September 2008)

 

Innalillâhi wa inna ilayhi raâji'ûn. Allahumaghfir lahum warhamhum wa 'âfihim wa'fu 'anhum.

 

 

 

 

UCAPAN SELAMAT:

Pimpinan dan Seluruh Jajaran Redaksi Buletin AL-ISLAM mengucapkan:

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1429 H

 

تَقَبَّلَ اللهُ مِنَّا وَ مِنْكُمْ صِيَامَنَا وَ صِيَامَكُمْ، وَ كُلُّ عَامٍ وَ أَنْتُمْ بِخَيْرٍ

 

 

لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ وَلَكِنَ الْعِيْدَ لِمَنْ طَاعَتُهُ تَزِيْدُ

 

Idul Fitri bukanlah diperuntukkan bagi mereka yang mengenakan segala hal yang serba baru. Namun, Idul Fitri dipersembahkan kepada mereka yang ketaatannya kepada Allah bertambah.

 

 

 

 

 

SEHUBUNGAN DENGAN HARI RAYA IDUL FITRI 1429 H, BULETIN AL-ISLAM

LIBUR SELAMA 3 MINGGU. TANGGAL 26 SEPT, 03 OKT, DAN 10 OKT.

INSYA ALLAH AKAN KEMBALI TERBIT PADA TANGGAL 17 OKTOBER 2008

 

 

 

 




Baca Selengkapnya ...

Wanita Dahulu dan Sekarang


Farid Achmad Okbah, M.Ag.

Allah SWT menciptakan makhuknya berpasang-pasangan. Di antara makhluknya yang paling indah dan sempurna adalah manusia. Allah SWT juga telah menurunkan petunjuknya yang paling sempurna. Sehingga, bila manusia menerima dan mengamalkan petunjuk itu, betapa indahnya manusia itu. Sebaliknya, bila ia menolaknya, betapa rendah dan jeleknya manusia itu, bahkan Al-Qur'an menyebutnya lebih hina dari binatang.


Allah SWT menjadikan keindahan ada dalam wanita meskipun pada hakikatnya antara pria dan wanita sama di hadapan Allah SWT. Hanya saja, Allah menjadikan keindahan itu ada pada wanita karena kelembutan, kasih sayang, dan emosinya yang lebih daripada kaum pria. Betapa indahnya sang wanita jika dihiasi dengan syariat Allah. Ia menjadi anak yang taat kepada Allah dan kedua orang tuanya. Jika ia menikah, ia menjadi penyayang bagi suaminya. Jika ia menjadi ibu, ia menyayangi dan mendidik anak-anaknya dengan sebaik mungkin. Dari wanita shalehah seperti inilah lahir pejuang-pejuang yang tangguh dan pemimpin yang bijaksana. Perhatikan keadaan wanita pada masa Rasulullah saw. dengan generasi salafus saleh sesudahnya. Mereka, kaum wanita itu, ada di balik segala keberhasilan dan kecemerlangan peradaban Islam. Apakah wanita dewasa ini bisa mengikuti jejak para pendahulunya? Marilah kita lihat kenyataannya.

Wanita dalam Al-Qur'an

Di dalam Al-Qur'an terdapat 114 surah. Di dalamnya tidak ada satu pun surah tentang pria (ar-rijal), tapi menariknya ada surah tentang wanita (An-Nisaa'), bahkan lebih spesifik ada surah Maryam, meskipun dia bukan nabi. Umar ra. memerintahkan kepada wanita untuk mempelajari surah An-Nuur (cahaya) karena di dalamnya mengandung pelajaran bagi kaum wanita agar lebih bercahaya. Keberadaan kaum wanita sama dengan kaum pria di hadapan Allah.

Allah SWT berfirman (yang artinya), "Maka, Rabb mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): 'Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain ...'." (Ali Imran: 195).

"Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik ...." (An-Nahl: 97).

Keberadaan wanita sebagaimana pria dalam kehidupan ini mengalami ujian yang bermacam-macam. Namun, mereka harus tetap tegar dan shalehah seperti yang dicontohkan Al-Qur'an dengan Asiyah, istri Fira'un yang sabar dalam menghadapi ujian dari suaminya, atau seperti Maryam yang tabah menghadapi ujian hidup tanpa suami. (Lihat At-Tahrim 11-12). Sebaliknya, jangan seperti istri Nabi Nuh a.s. dan Nabi Luth a.s. yang berkhianat terhadap suaminya dan tidak taat kepada Allah. (At-Tahriim: 10).

Wanita pada Masa Rasulullah

Rata-rata kaum wanita pada masa Rasulullah saw. tidak ketinggalan ikut berlomba meraih kebaikan, meskipun mereka juga sibuk sebagai ibu rumah tangga. Mereka ikut belajar dan bertanya kepada Rasulullah saw.

Wanita yang paling setia kepada Rasulullah adalah Khadijah yang telah berkorban dengan jiwa dan hartanya. Kemudian Aisyah, yang banyak belajar dari Rasulullah kemudian mengajarkannya kepada kaum wanita dan pria. Bahkan, ada pendapat ulama yang mengatakan, seandainya ilmu seluruh wanita dikumpulkan dibanding ilmu Aisyah, maka ilmu Aisyah akan lebih banyak. Begitulah Rasulullah saw. memuji Aisyah.

Ada seorang wanita bernama Asma binti Sakan. Dia suka hadir dalam pengajian Rasulullah saw. Pada suatu hari dia bertanya kepada Rasulullah, "Ya Rasulullah saw., engkau diutus Allah kepada kaum pria dan wanita, tapi mengapa banyak ajaran syariat lebih banyak untuk kaum pria? Kami pun ingin seperti mereka. Kaum pria diwajibkan shalat Jum'at, sedangkan kami tidak; mereka mengantar jenazah, sementara kami tidak; mereka diwajibkan berjihad, sedangkan kami tidak. Bahkan, kami mengurusi rumah, harta, dan anak mereka. Kami ingin seperti mereka. Maka, Rasulullah saw. menoleh kepada sahabatnya sambil berkata, "Tidak pernah aku mendapat pertanyaan sebaik pertanyaan wanita ini. Wahai Asma, sampaikan kepada seluruh wanita di belakangmu, jika kalian berbakti kepada suami kalian dan bertanggung jawab dalam keluarga kalian, maka kalian akan mendapatkan pahala yang diperoleh kaum pria tadi." (HR Ibnu Abdil Bar).

Dalam riwayat Imam Ahmad, Asma meriwayatkan bahwa suatu kali dia berada dekat Rasulullah saw. Di sekitar Rasulullah berkumpullah kaum pria dan juga kaum wanita. Maka beliau bersabda, "Bisa jadi ada orang laki-laki bertanya tentang hubungan seseorang dengan istrinya atau seorang wanita menceritakan hubungannya dengan sumianya." Maka tak seorang pun yang berani bicara, maka saya angkat suara. "Benar ya Rasulullah, ada pria atau wanita yang suka menceritakan hal pribadi itu." Rasulullah menimpali, "Jangan kalian lakukan itu, karena itu jebakan syaitan seakan syaitan pria bertemu dengan syaitan wanita, kemudian berselingkuh dan manusia pada melihatnya."

Ada juga wanita yang tabah dalam kehidupan rumah tangga yang serba pas-pasan tapi tidak pernah mengeluh seperti Asma' binti Abi Bakar dan Fatimah. Kutub Tarajim membenarkan cerita tentang Fatimah. "Suatu saat dia tidak makan berhari-hari karena nggak ada makanan, sehingga suaminya, Ali bin Abi Thalib, melihat mukanya pucat dan bertanya, "Mengapa engkau ini, wahai Fatimah, kok kelihatan pucat?"

Dia menjawab, "Saya sudah tiga hari belum makan, karena tidak ada makanan di rumah."

Ali menimpali, "Mengapa engkau tidak bilang kepadaku?"

Dia menjawab, "Ayahku, Rasulullah saw., menasehatiku di malam pengantin, jika Ali membawa makanan, maka makanlah. Bila tidak, maka kamu jangan meminta."

Luar biasa bukan?

Ada juga wanita yang diuji dengan penyakit, sehingga dia datang kepada Rasulullah saw. meminta untuk didoakan. Atha' bin Abi Rabah bercerita bahwa Ibnu Abbas r.a. berkata kepadaku, "Maukah aku tunjukkan kepadamu wanita surga?"

Aku menjawab, "Ya."

Dia melanjutkan, "Ini wanita hitam yang datang ke Rasulullah saw. mengadu, 'Saya terserang epilepsi dan auratku terbuka, maka doakanlah saya.' Rasulullah saw. bersabda, "Jika kamu sabar, itu lebih baik, kamu dapat surga. Atau, kalau kamu mau, saya berdoa kepada Allah agar kamu sembuh."

Wanita itu berkata, "Kalau begitu saya sabar, hanya saja auratku suka tersingkap. Doakan supaya tidak tersingkap auratku."

Maka, Rasulullah saw. mendoakannya.

Ada juga wanita yang ikut berperang seperti Nasibah binti Kaab yang dikenal dengan Ummu Imarah. Dia becerita, "Pada Perang Uhud, sambil membawa air aku keluar agak siang dan melihat para mujahidin, sampai aku menemukan Rasulullah saw.

Sementara, aku melihat pasukan Islam kocar-kacir. Maka, aku mendekati Rasulullah sambil ikut berperang membentengi beliau dengan pedang dan terkadang aku memanah. Aku pun terluka, tapi manakala Rasulullah saw. terpojok dan Ibnu Qamiah ingin membunuhnya, aku membentengi beliau bersama Mush'ab bin Umair. Aku berusaha memukul dia dengan pedangku, tapi dia memakai pelindung besi dan dia dapat memukul pundakku sampai terluka. Rasulullah saw. bercerita, "Setiap kali aku melihat kanan kiriku, kudapati Ummu Imarah membentengiku pada Perang Uhud." Begitu tangguhnya Ummu Imarah.

Ada juga Khansa yang merelakan empat anaknya mati syahid. Ia berkata, "Alhamdulillah yang telah menjadikan anak-anakku mati syahid."

Begitulah peranan wanita pada masa Rasulullah saw. Mereka berpikir untuk akhiratnya, sedang wanita sekarang yang lebih banyak memikirkan dunia, rumah tinggal, makanan, minuman, kendaraan, dan lain-lain.

Kaum Wanita pada Masa Berikutnya

Ketika Utsman bin Affan mengerahkan pasukan melawan manuver-manuver Romawi, komandan diserahkan kepada Hubaib bin Maslamah al-Fikir. Istri Hubaib termasuk pasukan yang akan berangkat perang. Sebelum perang dimulai, Hubaib memeriksa kesiapan pasukan.

Tiba-tiba istrinya bertanya, "Di mana saya menjumpai Anda ketika perang sedang berkecamuk?"

Dia menjawab, "Di kemah komandan Romawi atau di surga."
Ketika perang sedang berkecamuk, Hubaib berperang dengan penuh keberanian sampai mendapatkan kemenangan. Segera dia menuju ke kemah komandan Romawi menunggui istrinya. Yang menakjubkan, saat Hubaib sampai ke tenda itu, dia mendapatkan istrinya sudah mendahuluinya. Allahu Akbar.

Pada masa Dinasti Abbasiyah yang dipimipin oleh Harun al-Rasyid, ada seorang Muslimah disandera oleh tentara Romawi. Maka, seorang ulama bernama Al-Manshur bin Ammar mendorong umat Islam untuk berjihad di dekat istana Harun al-Rasyid dan dia pun menyaksikan ceramahnya.

Tiba–tiba ada kiriman bungkusan disertai dengan surat. Surat itu lalu dibuka dan dibaca oleh ulama tadi dan ternyata berasal dari seorang perempuan dan berbunyi, "Aku mendengar tentara Romawi melecehkan wanita Muslimah dan engkau mendorong umat Islam untuk berjihad, maka aku persembahkan yang paling berharga dalam diriku. Yaitu, seuntai rambutku yang aku kirimkan dalam bungkusan itu. Dan, aku memohon agar rambut itu dijadikan tali penarik kuda di jalan Allah agar aku dapat nantinya dilihat Allah dan mendapatkan rahmatnya." Maka, ulama itu menangis dan seluruh hadirin ikut menangis. Harun al-Rasyid kemudian memutuskan mengirim pasukan untuk membebaskan wanita Muslimah yang disandera itu.

Seorang istri Shaleh bin Yahya ditinggal suaminya dan hidup bersama dua anaknya. Ia mendidik anak-anaknya dengan ibadah dan qiyamul lail (shalat malam). Ketika anak-anaknya semakin besar, dia berkata, "Anak-anakku, mulai malam ini tidak boleh satu malam pun yang terlewat di rumah ini tanpa ada yang shalat qiyamullail."

"Apa maksud ibu?" tanya mereka.

Ibu menjawab, "Begini, kita bagi malam menjadi tiga dan kita masing-masing mendapat bagian sepertiga. Kalian berdua, dua pertiga, dan saya sepertiga yang terakhir. Ketika waktu sudah mendekati subuh, saya akan bangunkan kalian."

Ternyata kebiasan ini berlanjut sampai ibu mereka meninggal. Dan amalan itu tetap dilanjutkan oleh dua anak itu karena mereka sudah merasakan nikmatnya qiyamullalil.

Wanita Dewasa Ini

Kalau kita perhatikan perkembangan wanita dewasa ini, memang cukup mengkhawatirkan, meskipun di lain pihak masih banyak kaum wanita berjilbab yang semarak. Bahkan, pengajian-pengajian justru dipenuhi oleh kaum wanita. Tapi, melihat berbagai upaya musuh Islam untuk menghancurkan kaum hawa dengan berbagai cara melalui media massa yang destruktif (merusak), maka tantangannya semakin berat.

Kalau tidak berbekal ilmu agama yang cukup dan disertai semangat juang yang tinggi, niscaya wanita pada zaman sekarang sulit untuk selamat. Bayangkan, kehidupan masyarakat di sekeliling kita sampai pergaulan di tingkat nasional dan internasional sudah sangat bejat.

Kebejatan itu diliput dan disampaikan ke rumah-rumah kita melalui saluran-saluran TV. Dan, yang tidak puas ditambah dengan VCD dan internet. Sehingga, waktu untuk beribadah kepada Allah semakin terpinggirkan atau tergeser oleh otak yang merekam semua adegan itu.

Sementara, penangkalnya relatif kecil, dengan cara tradisional melalui pengajian minimal seminggu sekali. Maka, kita perlu kunci-kunci keselamatan.

Kunci kebahagiaan adalah taat keada Allah dan Rasul-Nya.
Kunci surga adalah tauhid.
Kunci keimanan adalah berpikir tentang ayat-ayat Allah dan ciptaan-Nya.
Kunci kebaikan adalah kejujuran.
Kunci kehidupan hati adalah membaca dan mendalami Al-Qur'an serta menjauhi dosa.
Kunci rizki adalah berusaha sambil beristighfar dan bertakwa.
Kunci ilmu adalah pandai bertanya dan mendengar.
Kunci kemenangan adalah sabar.
Kunci kesuksesan adalah takwa.
Kunci tambah rizki adalah bersyukur.
Kunci sukses akhirat adalah zuhud terhadap dunia.
Kunci dikabulkan permintaan adalah doa, dll.

Wallahu a'lam bish-shawab.

Baca Selengkapnya ...

MENJADI ORANG PALING KAYA


''Ridhalah dengan apa yang dibagikan Allah SWT untukmu, niscaya engkau menjadi orang yang paling kaya.'' (HR Turmudzi). Penggalan hadis Rasulullah SAW di atas merupakan bentuk nyata betapa susahnya menumbuhkan rasa qanaah atau merasa cukup.

Hadis itu mengandung maksud orang paling kaya adalah mereka yang qanaah atas apa pun pemberian Allah SWT. Betapa positif dan bermartabatnya hidup ini bila seseorang selalu merasa ridha dan cukup dengan segala kondisinya. Dengan qanaah, yang sedikit akan menjadi banyak dan yang banyak akan menjadi berkah.

Kesenangan tidak akan sempurna dan nikmat tidak akan menjadi besar kecuali dengan memutuskan angan-angan memiliki seperti yang dimiliki orang lain. ''Himpunlah rasa putus asa terhadap apa-apa yang ada di tangan manusia.'' (HR Ibnu Majah).

Sikap tidak menerima atas apa yang telah dimiliki, hanya akan menguras keterkaitan hati dengan Allah SWT. Akibatnya, kehidupan yang sebenarnya tidak akan bisa dirasakan. Sementara kehidupannya menjadi tidak tertata. Ridha dengan pemberian, mensyukuri pemberian Allah SWT, dan menginvestasikannya untuk hal yang bermanfaat, maka inilah sebenarnya yang disebut kaya nan mulia. Allah SWT berjanji kepada orang yang hatinya dipenuhi keridhaan akan memenuhi hatinya dengan kekayaan, rasa aman, penuh dengan cinta, dan tawakkal kepada-Nya.

Sebaliknya, bagi yang tidak ridha, hatinya akan dipenuhi dengan kebencian, kemungkaran, dan durhaka. Pantaskah sebagai seorang hamba mengaku kekurangan, sementara pada waktu yang sama, kita masih memiliki akal. Andai kata akal itu dibeli orang atau menukarnya dengan emas dan perak sebesar gunung, kita pasti enggan menerimanya.

Kita memiliki dua mata yang sekiranya dibayar dengan permata sebesar Gunung Uhud, pasti tidak rela. Saat ini banyak orang enggan mengakui dan menyebut dirinya orang paling kaya. Kekayaan hanya mereka ukur dengan materi, banyaknya harta, dan pangkat yang tinggi.

Bersyukurlah atas nikmat agama, akal, kesehatan, pendengaran, penglihatan, rezeki, keluarga, penutup (aib), dan nikmat lain yang tak terhitung. Sebab, di antara manusia itu ada yang hilang akalnya, terampas kesehatannya, dipenjara, dilumpuhkan, atau ditimpakan bencana.

Kini saatnya untuk menyadari bahwa kita sebenarnya adalah orang yang paling kaya. Caranya dengan selalu qanaah dan merasa ridha. Bersyukur dengan apa yang kita miliki, sehingga hidup lebih bermakna, berkah, serta lebih berarti. Jadikanlah keridhaan itu dengan mengosongkan hati dari berbagai sangkaan dan membiarkannya hanya untuk Allah SWT.

(Nur Kolis Mughni, Republika - Hikmah )

Baca Selengkapnya ...

Tuesday, September 9, 2008

Ramadhan Momentum Untuk..




RAMADHAN: MOMENTUM

UNTUK MENGUBUR SEKULARISME

Buletin Al-Islam Edisi  422

 

 

Ramadhan sering disebut sebagai bulan suci. Namun sayang, di masyarakat kita, kesucian Ramadhan sering dimaknai hanya dalam konteks ritual, spiritual dan religius semata.

 

Untuk memelihara kesucian bulan Ramadhan bermunculanlah berbagai imbauan, seruan dan kebijakan. Selama bulan Ramadhan warung makan dan restoran dihimbau untuk tidak buka pada siang hari. Diskotek, pub dan tempat sejenis diminta tutup selama Ramadhan. Untuk menjamin terpeliharanya kesucian Ramadhan, di beberapa daerah bahkan dibuat Perda Ramadhan.


 

Selama Ramadhan, televisi pun berubah menjadi "religius". Berbagai acara siraman ruhani, renungan Ramadhan dan sinetron religi ditampilkan. Pembawa dan pengisi acaranya mengenakan busana islami.

 

Selain itu, berbagai kegiatan keislaman, pengajian dan sebagainya dilakukan dimana-mana sepanjang Ramadhan. Semua kemeriahan syiar Ramadhan ini tentu bagus dan perlu didukung.

 

Namun demikian, tampaknya semua itu hanya pengulangan belaka dari tahun-tahun sebelumnya. Yang agak berbeda, Ramadhan kali ini berada di tengah masa kampanye Pemilu 2009. Di beberapa daerah Ramadhan bertepatan dengan masa kampanye Pilkada atau dekat dengan pelaksanaan Pilkada. Tidak aneh jika kemeriahan Ramadhan kali ini ditambah dengan semaraknya kegiatan yang bernuansa kampanye atau kegiatan bernuansa politik lainnya, seperti safari Ramadhan, misalnya. Padahal di sebagian masyarakat kita, politik masih dianggap sebagai sesuatu yang murni bersifat duniawi dan cenderung kotor. Jadilah kegiatan politik itu dianggap bisa mencemari kesucian Ramadhan. Karena itulah, imbauan dan peringatan seperti "Jangan sampai bulan suci Ramadhan yang penuh keberkahan ini diperkeruh oleh urusan-urusan dan kepentingan politik pragmatis" atau seruan yang serupa bermunculan.

 

Tampaknya yang terjadi selama Ramadhan ini, sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, tidak lain merupakan perubahan dan kemeriahan instan dan bersifat sesaat. Instan karena begitu Ramadhan tiba, para wanita Muslimah, misalnya, ramai-ramai bersegera mengenakan kerudung dan busana islami; yang laki-laki mengenakan gamis dan berpeci. Fenomena ini sangat nyata terlihat terutama di kalangan para selebritis. Jika sebelum Ramadhan pengajian amat jarang, begitu Ramadhan pengajian diadakan bukan hanya setiap hari, bahkan setiap waktu. Begitu masuk Ramadhan, safari, santunan kepada fakir miskin dan anak yatim, dan berbagai kegiatan keislaman lainnya langsung menjamur dimana-mana.

 

Selain instan, fenomena keagamaan di atas juga bersifat sesaat karena, seperti yang lalu-lalu, semua itu sering hanya berlangsung selama Ramadhan saja. Begitu Ramadhan pergi, semua kegiatan dan fenomena keagamaan itu pun berhenti. Fenomena seperti itu sudah berlangsung bertahun-tahun dan berulang.

 

 

Mengapa Terjadi?

 

 

Jika kita renungkan, tampak bahwa Ramadhan, sebagai bulan suci, telah dianggap sebagai waktu yang khusus untuk urusan ritual, spiritual dan keakhiratan. Karenanya, semua kegiatan di bulan Ramadhan bernuansa spiritual, ritual dan religius. Pada bulan suci ini, aktivitas yang dianggap duniawi harus ditinggalkan atau minimal dikurangi. Agaknya latar belakang pemikiran inilah yang mendorong munculnya imbauan untuk menjauhkan aktivitas politik dari aktivitas Ramadhan. Tidak lain karena politik dinggap sebagai aktivitas duniawi dan cenderung kotor; kalau disatukan atau dimasukkan ke dalam aktivitas Ramadhan dianggap akan mengotori kesucian bulan Ramadhan. Kesucian Ramadhan juga tidak boleh dikotori oleh kemaksiatan. Karenanya, dikeluarkanlah imbauan bahkan perda agar tempat-tempat yang berbau maksiat seperti pub, diskotek, panti pijat dan sebagainya diminta tutup selama Ramadhan. Setelah Ramadhan, semua itu dipersilakan untuk buka kembali.

 

Cara pandang seperti itu merupakan cara pandang sekular. Sekularisme adalah paham yang memisahkan urusan dunia dengan urusan akhirat. Urusan dunia terserah manusia, sementara urusan akhirat diserahkan kepada agama. Agama tidak boleh dibawa-bawa dalam urusan dunia. Sebaliknya, urusan dunia tidak boleh dikaitkan dengan urusan akhirat atau agama. Dalam konteks waktu, dengan cara pandang sekular, seakan-akan ada waktu-waktu yang khusus untuk akhirat; yang harian adalah waktu-waktu shalat lima waktu, yang mingguan adalah hari Jumat, dan yang tahunan adalah Ramadhan.

 

Disadari atau tidak, paham sekularisme atau cara pandang sekular ini sudah merasuk jauh ke dalam diri kaum Muslim. Saat melaksanakan shalat, seorang wanita Muslimah akan dengan ringan menutup auratnya. Namun, di luar shalat, ia merasa berat melakukannya. Ketika di masjid seseorang merasa begitu dekat dengan Allah dan merasa ada dalam pengawasan-Nya. Namun, di luar masjid—ketika menangani proyek, berjual beli, berbisnis, dan berpolitik, mengurus pemerintahan, dll—seakan Allah begitu jauh dan tidak mengawasinya. Ketika beribadah ritual (shalat, misalnya) seorang Muslim begitu memperhatikan hukum-hukum syariah tentangnya; memperhatikan syarat dan rukunnya, juga sah dan batalnya. Namun, di luar itu—ketika memerintah, berpolitik, berdagang, memutuskan perkara dan sebagainya—hukum-hukum syariah bukan saja diabaikan, bahkan dicampakkan.

 

Paham sekularisme semacam ini tentu bertentangan dengan akidah Islam. Islam tidak membedakan urusan dunia dengan urusan akhirat. Islam diturunkan oleh Allah bukan hanya untuk mengurus urusan ukhrawi saja, melainkan juga untuk urusan duniawi. Hal ini bisa dipahami dengan sangat mudah oleh siapapun. Siapapun bisa memahami itu dengan mudah ketika membaca ayat-ayat al-Quran tentang hukum potong tangan bagi pencuri, cambuk/rajam bagi orang yang berzina; hukum seputar jual-beli, riba, timbangan; hukum tentang pergaulan laki-laki dan perempuan; hukum seputar perang, perjanjian, damai dsb. Tentu saja semua petunjuk dan hukum-hukum itu diturunkan oleh Allah SWT bukan sekadar untuk dibaca dan dipelajari, tetapi untuk dilaksanakan dan diterapkan. Bahkan Allah mengancam siapa saja yang mengambil sebagian isi al-Quran seraya meninggalkan sebagiannya yang lain:

 

 

]أَفَتُؤْمِنُونَ بِبَعْضِ الْكِتَابِ وَتَكْفُرُونَ بِبَعْضٍ فَمَا جَزَاءُ مَنْ يَفْعَلُ ذَلِكَ مِنْكُمْ إِلاَّ خِزْيٌ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَيَوْمَ الْقِيَامَةِ يُرَدُّونَ إِلَى أَشَدِّ الْعَذَابِ وَمَا اللَّهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُونَ[

 

Apakah kalian mengimani sebagian al-Kitab dan mengingkari sebagian yang lainnya? Tidak ada balasan bagi orang yang berbuat demikian di antara kalian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dilemparkan ke dalam azab yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kalian perbuat. (QS al-Baqarah [2]: 85).

 

 

Introspeksi Ramadhan

 

 

Tentu kita semua tidak ingin Ramadhan ini meraih kegagalan, yaitu gagal meraih takwa sebagai hikmah atas diwajibkannya puasa. Takwa, seperti yang dijelaskan oleh Imam Nawawi, adalah mematuhi perintah-perintah Allah dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Perintah dan larangan Allah itu terwujud dalam totalitas hukum syariah. Karena itu, takwa hakikatnya adalah menjalankan seluruh hukum syariah dalam segala bentuk dan aspeknya.

 

Puasa telah mengajari kita untuk menjadi manusia yang bertakwa. Jika pada bulan Ramadhan, ketika kita diperintahkan meninggalkan makanan dan minuman yang halal pada siang hari, ternyata kita bisa; tentu lebih mudah bagi kita untuk meninggalkan makanan dan minuman haram di luar Ramadhan. Ketika puasa di bulan Ramadhan kita ringan menjalankan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya, tentu seharusnya di luar Ramadhan semua itu juga pasti bisa kita lakukan.

 

Namun, karena pemaknaan terhadap Ramadhan didasarkan pada cara pandang sekular, lahirlah anggapan bahwa semua bentuk ketaatan itu seolah hanya berlaku selama Ramadhan saja; menjadi insan bertakwa itu seakan hanya dianggap khusus pada bulan Ramadhan saja.

 

Karena itu, pada pertengahan Ramadhan ini, hendaknya kita instrospeksi diri. Apakah pemaknaan Ramadhan dan aktivitas di dalamnya masih menggunakan cara pandang sekular? Jika ya, artinya kita terancam gagal mewujudkan hikmah puasa, yaitu takwa. Oleh karena itu, cara pandang sekular harus segera kita buang.

 

Takwa jelas bukan hanya diperintahkan selama Ramadhan saja. Takwa diperintahkan sepanjang waktu, kapan saja, juga dimana saja dan dalam hal apa saja. Rasulullah saw. bersabda:

 

 

«اِتَّقِ اللهَ حَيْثُ مَا كُنْتَ وَأَتْبِعِ السَّيِّئَةَ الْحَسَنَةَ تَمْحُهَا وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ»

 

Bertakwalah kamu kepada Allah kapan saja dan dimana saja kamu berada, ikutilah keburukan dengan kebaikan dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik (HR Ahmad, at-Tirmidzi, al-Hakim dan al-Baihaqi).

 

 

Karena itulah, baik pada bulan Ramadhan maupun di luar Ramadhan, sepanjang hidup kita, juga di manapun kita berada, takwa harus senantiasa terwujud dalam diri kita.

 

Seiring waktu, mungkin aktivitas keseharian dan kesibukan duniawi telah menjadikan energi untuk bertakwa itu melemah. Supaya penurunan itu tidak sampai kebablasan, energi takwa itu perlu selalu di-charge. Ramadhan bisa dijadikan sebagai salah satu momentum untuk men-charge kembali energi itu. Dengan itu, selepas Ramadhan kita tetap bisa mewujudkan ketakwaan sepenuhnya, bukan malah sebaliknya; ketakwaan kita makin melemah, bahkan nyaris hilang selepas Ramadhan. Na'ûdzu billâh min dzâlik.

 

 

Wahai kaum Muslim:

 

 

Hendaknya Ramadhan sekarang kita jadikan sebagai momentum perubahan. Marilah kita tinggalkan paham sekularisme dan cara pandang sekular, khususnya dalam memaknai Ramadhan ini, dan umumnya di dalam segala aspek kehidupan kita. Marilah kita wujudkan ketakwaan dalam diri kita bukan hanya pada bulan Ramadhan ini saja, tetapi pada sebelas bulan berikutnya selepas Ramadhan.

 

Untuk memantapkan semua itu tidak ada lain adalah dengan kembali menerapkan Islam dan syariahnya secara kaffah. Puasa Ramadhan sungguh telah mengajari kita bahwa semua itu adalah mudah dan bisa kita terapkan. Wallâh a'lam bi ash-shawâb. []

 

 

Komentar al-Islam:

 

Anwar Ibrahim: Demokrasi Sering Munculkan Ketidaksabaran (Kompas, 9/9/2008).

 

Wajar, karena demokrasi hanya menjanjikan kesejahteraan, bukan mewujudkannya.




Baca Selengkapnya ...