Wahai diriku, apa kabarmu hari ini? Adakah engkau dalam keadaan sehat lahir dan batin? Masihkah senyum manis menghiasi bibirmu? Masihkah langkah hidup terasa ringan engkau ayunkan atau malah terasa berat sekali? Masihkah engkau bergegas untuk menjawab panggilan-Nya disaat adzan berkumandang? Adakah perasaan malas dan menunda mulai hinggap di hatimu untuk berbuat kebaikan? Masihkah ucapan istighfar sebagai rasa sesal membasahi bibirmu, untuk setiap ucapan yang nista, pandangan mata yang tak seharusnya, serta bisikan jahat pada hatimu yang akhirnya engkau lahirkan dalam wujud perbuatan?
Saudaraku,
Terkadang, kita terlalu sibuk dengan dunia di luar diri kita. Kita begitu bersemangat membuat banyak perubahan untuk lingkungan sekitar kita. Kita bersemangat untuk menutupi setiap kekurangan yang tampak di hadapan, serta bersemangat menjadikan segala sesuatu di luar diri kita tampak lebih baik dari hari ke hari. Namun, tanpa disadari, kita lupa bertanya pada diri sendiri. Kita lupa untuk senantiasa melihat setiap perubahan kecenderungan yang singgah pada diri kita.
Kita lupa untuk memperbaiki dan menutupi banyaknya kekurangan dan aib-aib diri kita. Dalam setiap pertambahan waktu dan umur, dalam banyak pergaulan dan interaksi yang terjadi, tak dipungkiri pasti terdapat perubahan-perubahan dalam kecenderungan diri kita. Mungkin, aktifitas yang kita geluti dari hari ke hari tanpa disadari sudah memakan kesadaran kita untuk terus waspada serta berjalan dalam rambu-rambu ketaatan dan keistiqomahan menjaga keimanan dari bisikan-bisikan halus kelalaian.
Mungkin saja diri kita yang dulunya begitu kuat untuk memegang prinsip-prinsip yang mulia dalam hidup, mulai goyah dan terbawa arus setelah berbaur dengan beragam karakter dan kebiasaan. Adakah kita senantiasa bertanya pada diri sendiri, sebesar apakah kedukaan kita saat berlalunya kesempatan untuk berbuat taat yang hanya kita biarkan dan habiskan dalam kesia-siaan perbuatan? Atau malah diri kita tidak berduka sama sekali?
Adakah kita senantiasa bertanya dan menuntut pada diri, perbuatan baik apa saja yang akan dan telah kita persembahkan pada hari ini? Padahal kesempatan itu tidak datang dua kali dan terkadang hanya berlaku sekali. Hari yang kita jumpai saat ini dengan segala ragam keadaannya tak akan kembali terulang untuk esok, sedangkan kita tak pernah tahu, apakah esok kita masih sehat dan mampu berbuat, atau bahkan tidak akan lagi menjumpainya.
Saudaraku,
Bertanya pada diri sendiri atas banyak hal yang mesti diperbaiki adalah sebuah kebutuhan yang sudah seharusnya dilakukan. Menjadi Waspada atas banyak kecenderungan-kecenderungan diri yang melalaikan merupakan suatu hal yang menjadi kebutuhan dasar untuk tetap menjaga langgengnya iman. Mampukah kita melakukan perubahan dan perbaikan, jika kita tidak pernah bertanya hal apa yang mesti kita rubah dan perbaiki? Mampukah kita melihat kelemahan dan kekurangan, jika diri tetap tidak mau peduli dan introspeksi serta selalu saja merasa sempurna dan tiada cela?
Diambil dari : blog sebuah perenungan
Tuesday, June 24, 2008
Bertanya Pada Diri Sendiri
Thursday, June 12, 2008
Provokasi, Sekali Lagi Provokasi!
Provokasi, Sekali Lagi Provokasi! [2] Cetak halaman ini Kirim halaman ini melalui E-mail
Rabu, 11 Juni 2008
Presiden menanggapi peristiwa Monas seakan kudeta. Kedubes AS pun melibatkan diri. Padahal itu tawuran biasa yang selalu terjadi di Indonesia. Ada apa? SKB sudah terbit. Tapi peristiwa ini adalah "pelajaran!"
Oleh: Amran Nasution *
Prolog:
Beberapa saat usai kejadian bentrokan Monas, John Heffern, Kuasa Usaha Kedutaan Besar (Kedubes) Amerika Serikat di Jakarta ikut-ikutan sibuk mengunjungi korban dari AKKBB di Rumah Sakit Gatot Subroto. Keesokan hari, Kedubes mengirimkan pernyataan resmi ke media massa mengutuk aksi kekerasan Monas. Belum cukup. Pernyataan itu mengajari Pemerintah Indonesia agar menjunjung kebebasan beragama bagi warganya sesuai UUD. Itu jelas intervensi urusan dalam negeri Indonesia.
Bagaimana Amerika masih punya keberanian moral mengutuk kekerasan Monas, sementara negaranya adalah imperium kekerasan yang sudah membunuh 1 juta manusia di Iraq. Saat tulisan ini diturunkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ikut-ikutan menyorot kasus Ahmadiyah. Lantas, apa maksud dari dukungan moral itu?
Amerika Memang Jagonya
Campur tangan mereka yang begitu jauh tentu karena alasan lain. Itu harus dirujuk kepada war on terror (perang melawan teror) yang diproklamirkan Presiden George Bush setelah penyerangan Menara Kembar WTC oleh kelompok teroris 11 September 2001.
Katanya itulah perang untuk menguber para teroris sampai ke mana pun. Nyatanya sampai sekarang Usamah Bin Ladin dan Ayman Al-Zawahiri masih tak bisa tertangkap. Sementara Afghanistan dan Iraq sudah remuk-redam. Negeri kaya minyak Iraq, oleh perbuatan Amerika, kini menjadi negara gagal (failed-state)
Dalam proklamasinya Bush mengatakan bahwa perang itu adalah crusade atau Perang Salib, yaitu perang tentara Kristen melawan Islam 1000 tahun lalu untuk memperebutkan Jerusalem. Itulah nyatanya yang dilakukan Presiden Bush.
Di Iraq, kelompok Suni diadunya dengan Syiah. Begitu pula di Libanon. Arab Saudi ditakut-takuti dengan bahaya nuklir Iran. Orang Islam dibaginya dua: good Muslim dan bad Muslim. Good Muslim, katanya, orang Islam yang modern, menerima nilai demokrasi, terbuka dan moderat. Sedang bad Muslim kolot, anti-demokrasi, fanatik, tak toleran, ingin mendirikan negara Islam.
Pada kenyataannya good Muslim adalah orang Islam yang mau mendukungnya. Mereka menjadi bad Muslim kalau bersikap independen dari pengaruhnya (Lihat Mahmood Mamdani dalam Good Muslim, Bad Muslim – America, the Cold War, and the Roots of Terror. Three Leaves Press, Doubleday, New York, 2005). Dalam konteks inilah campur tangan Kedubes Amerika dalam mendukung AKKBB, bisa dilihat.
Ketua Umum FPI Habib Riziek Shihab atau pimpinan Laskar Islam Munarman jelas masuk kategori bad Muslim. Habib Rizieq selalu memimpin demonstrasi anti-Amerika. Munarman, bekas tokoh YLBHI itu, adalah orang paling gigih berkampanye mengusir proyek NAMRU-2 dari Indonesia.
Kontrak NAMRU-2 sudah lama berakhir di Indonesia. Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari menentangnya, tapi proyek Angkatan Laut Amerika itu tetap bertahan karena di Istana banyak pendukungnya. Padahal proyek itu tampaknya tak lain untuk kepentingan perang kuman Amerika yang tak ada untungnya bagi Indonesia.
Sementara di kelompok AKKBB bergabung banyak good Muslim. Beberapa di antara mereka adalah tokoh yang pada 1998 terlibat menerima dana 26 juta dollar dari badan bantuan pemerintah Amerika, US-AID, seperti Adnan Buyung Nasution dan kawan-kawan (The New York Times, 20 Mei 1998).
Dengan sikap Kedubes Amerika dan Presiden SBY seperti itu, maka penangkapan Habib Riziek dan kelompoknya dilakukan polisi amat berlebihan. Inilah untuk pertama kali dalam sejarah Indonesia, 1500 polisi dikerahkan hanya untuk menangkap demonstran tawuran. Pagi itu, kantor FPI di kawasan Petamburan dikepung seakan sarang teroris yang memiliki senjata nuklir.
Semua itu rupanya diperlukan agar suasana terlihat mencekam. Agar FPI terlihat jelek dan menakutkan di mata masyarakat. Apalagi sejak peristiwa Monas organisasi Islam itu sudah dihancurkan oleh pemberitaan gencar media massa. Ia dicitrakan sebagai organisasi preman yang meresahkan agar bisa dibubarkan.
Andi Mallarangeng dan adiknya, Rizal Mallarangeng dari Freedom Institute, tak segan tampil berdua di sebuah stasiun televisi hanya untuk menyerang FPI dengan emosional. Singkat cerita, tujuannya untuk membunuh karakter FPI. Di mata dua kakak-beradik ini tak ada kerjaan FPI yang lain kecuali kekerasan.
Padahal FPI dan para tokohnya termasuk pihak awal turun ke Aceh ketika tsunami menyerang. Mereka yang mengevakuasi mayat berserakan, bukan Adnan Buyung Nasution atau Marsilam Simanjuntak. Mereka turun menolong rakyat kebanjiran di Jakarta, bukan Rizal Mallarangeng atau Asmara Nababan. Pengajian mereka berlangsung rutin. Habib Rizieqsering berkeliling Indonesia untuk berdakwah.
Tapi dalam hal provokasi Amerika jagonya. James Petras, Profesor (emeritus) sosiologi di Binghamtom University, New York, Mei lalu, menulis artikel menarik, Provocations as Pretexts for Imperial War: From Pearl Harbor to 9/11. Di situ ditelanjangi bagaimana pemerintah Amerika memprovokasi rakyatnya dan masyarakat internasional dengan dalih atau bukti palsu agar mereka mendukung perang.
Itu dilakukan Presiden Franklin Roossevelt dalam penyerangan Jepang atas Hawai yang menjadi alasan Amerika terlibat dalam Perang Dunia II, Presiden Truman untuk Perang Korea, Presiden Lyndon Johnson dalam insiden Teluk Tonkin untuk melegitimasi Perang Vietnam, dan Presiden Bush dengan senjata pemusnah massal untuk menyerang Iraq.
Dalam insiden Teluk Tonkin, misalnya, Menteri Pertahanan McNamara melapor ke Kongres bahwa hari itu, 4 Agustus 1964, kapal perang Amerika telah bentrok dengan patroli laut Vietnam Utara di Teluk Tonkin. Insiden terjadi karena lambung kapal USS Maddox dirobek peluru senapan mesin kaliber 14,5 mm yang ditembakkan kapal patroli Vietnam. Rakyat Amerika terprovokasi dan marah. Tiga hari kemudian Kongres memberi mandat kepada Presiden Johnson untuk berperang.
Padahal insiden Teluk Tonkin cuma karangan. Itu terbukti dari berbagai dokumen yang belakangan bisa dibuka. Salah satunya, laporan National Security Agency (NSA) dibuka tahun 2005, menyebutkan kapal patroli Vietnam tak pernah bertemu USS Maddox, apalagi terlibat tembak-tembakan. Foto robeknya lambung USS Maddox sebagai bukti, betul-betul hasil rekayasa.
Begitu juga cara Presiden Bush mengelabui rakyat Amerika dan dunia tentang senjata pemusnah massal di Iraq dan hubungan Saddam Hussein dengan "teroris" Al-Qaiah Semua palsu dan rekayasa.
Seperti ditulis Profesor James Petras, provokasi menimbulkan kerugian tak kepalang. Perang Vietnam menyebabkan 4 juta penduduk Vietnam dan Indochina terbunuh. Jutaan lainnya terluka. Amerika sendiri: 54.000 serdadu tewas, setengah juta lainnya cedera. Tapi yang paling menyakitkan, Amerika kalah perang. Tentaranya harus melarikan diri dari Saigon pada 1975. Sungguh memalukan.
Begitu pula di Iraq. Perang menyebabkan lebih 4000 tentaranya terbunuh, hampir 30.000 cedera, dan sebagian harus dirawat seumur hidup karena gangguan mental. Profesor Joseph Stiglitz, pemenang Nobel Ekonomi 2001, memperhitungkan perang Iraq menghabiskan dana 3 trilyun dollar.
Perang itulah yang menyebabkan Amerika dibenci rakyat dunia – termasuk Eropa. Ekonominya morat-marit dan kini dilanda krisis. Bertahun-tahun neraca perdagangannya negatif lalu hidup dari menumpuk utang. Negeri ini menjadi pengutang terbesar di dunia. Utang luar negerinya saja 9 trilyun dollar, terutama kepada China dan negara Timur Tengah. Pengangguran melonjak, bulan ini sudah 4,5%.
Penyerbuan Iraq pula yang menyebabkan harga minyak bumi melonjak – selain faktor naiknya permintaan. Soalnya, karena masalah keamanan sampai sekarang pasokan minyak Iraq belum mencapai tingkat produksi sebelum perang. Proyek Presiden Bush membuat biofuel dari jagung dengan subsidi besar sebagai alternatif minyak bumi mengakibatkan harga pangan melonjak. Dunia terancam resesi.
Belakangan bermunculan banyak artikel dan buku yang meramalkan masa kejayaan Amerika Serikat sudah berakhir, ditulis bukan orang sembarang. Amerika tak akan lagi memimpin dunia. Di antaranya, Day of Reckoning - How Hubris, Ideology, and Greed Are Tearing America Apart (oleh Patrick J. Buchanan), The Post-American World (Fareed Zakaria), The Squandering of America (Robert Kuttner), Bad Money – Reckless Finance, Failed Politics and the Global Crisis of American Capitalism (Kevin Phillips), atau The Second World: Empires and Influence in the New Global Order (Parag Khanna).
Meski demikian rupanya cara-cara provokasi dari negeri calon bangkrut itu masih dicoba di Indonesia. Korbannya adalah FPI dan kawan-kawan. Mereka menjadi Kiranjit Ahluwalia. [Habis/www.hidayatullah.com]
* Penulis Direktur Institute For Policy Studies
Wednesday, June 4, 2008
Insiden Monas.
INSIDEN MONAS,
WASPADAI ADU-DOMBA UMAT ISLAM!
Buletin Al-Islam Edisi 408
Prihatin. Itulah rasa yang ada menyaksikan kondisi umat Islam saat ini. Rakyat tengah mengalami keterpurukan ekonomi akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Berbagai penolakan terus terjadi dimana-mana. Pada 1 Juni 2008 siang berlangsung demo penolakan kenaikan BBM di depan Istana Negara Jalan Medan Merdeka Utara yang diselenggarakan oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan dihadiri oleh berbagai ormas. Sebagaimana dimuat berbagai media massa, acara tersebut berlangsung damai.
Namun, pada saat yang hampir bersamaan terjadi 'Insiden Monas', yaitu bentrokan antara Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) dengan massa yang beratribut Front Pembela Islam (FPI) di Lapangan Silang Monas ke arah Jalan Medan Merdeka Selatan. Belakangan dibantah bahwa yang bentrok itu bukanlah FPI melainkan Komando Laskar Islam (KLI).
Berbagai kecaman langsung bermunculan mulai dari Presiden, politisi, dan sebagian tokoh. Reaksi demikian muncul karena adanya pemberitaan tentang aksi kekerasan yang terjadi. Padahal tidak ada asap kalau tidak ada api.
Provokasi
Pakar komunikasi Universitas Hasanuddin, Aswar Hasan, mengatakan, bentrokan antara FPI dan AKKBB adalah efek dari "kekerasan simbolik" yang selama ini terjadi. Aksi-aksi sporadis kalangan liberal--seperti melecehkan MUI dan merendahkan wibawa ulama (ingat pelecehan dan penghinaan Adnan Buyung kepada KH Ma'ruf Amien, tokoh NU dan Ketua MUI di Radio BBC beberapa waktu lalu)--selalu mendapat tempat terhormat di media massa dan TV. "Jadi, sesungguhnya 'kekerasan simbolik' itu sudah lama dilakukan kalangan liberal terhadap kalangan Islam yang lain," ujar Aswar (Hidayatullah.com, 2/6/2008).
AKKBB merupakan kelompok yang giat membela Ahmadiyah. Padahal Ahmadiyah telah dinyatakan sesat oleh berbagai organisasi seperti keputusan Majma' al-Fiqih al-Islami Organisasi Konferensi Islam (OKI) tahun 1985, Fatwa MUI tentang Ahmadiyah tahun 2005, termasuk Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Bahkan Badan Koordinasi Pengawas Kepercayaan dan Keyakinan Masyarakat (Bakorpakem) pada 16 April 2008 menetapkan Ahmadiyah sebagai aliran yang menyimpang dari Islam. Namun, surat Keputusan Bersama (SKB) tentang pelarangan Ahmadiyah belum juga dikeluarkan oleh Pemerintah. Sementara itu, AKKBB terus berusaha mencegah keluarnya SKB tersebut.
Di tengah situasi psikologis seperti itu, setidaknya sejak 15 Mei 2008, terpampang iklan petisi di situs resmi AKKBB, yang disebar ke berbagai milis, dan akhirnya dirilis di beberapa media massa nasional mulai tanggal 26 Mei 2008. Petisi bertajuk "Mari Pertahankan Indonesia Kita!" itu dikoordinasikan oleh ICRP dan Aliansi Bhineka Tunggal Ika dan disebar di beberapa milis di Indonesia. Sebagaimana diketahui, Aliansi Bhineka Tunggal Ika adalah kelompok yang pernah menggerakkan kalangan lesbian, homo, para pelacur dan penyanyi dangdut untuk menyampaikan sikap penolakan terhadap Rancangan Undang-undang (RUU) Anti Pornografi dan Pornoaksi (APP). Dilihat dari pendukungnya pun terdiri dari ideolog sosialis, aktivis Ahmadiyah, sebagian warga non-Muslim dan kaum liberal.
Iklan petisi tersebut berisi pembelaan terhadap Ahmadiyah. Bukan hanya itu, petisi itu juga berusaha mengadu-domba umat Islam dengan Pemerintah dengan menyatakan, "Kami menyerukan, agar Pemerintah, para wakil rakyat, dan para pemegang otoritas hukum untuk tidak takut terhadap tekanan yang membahayakan ke-Indonesia-an itu."
Provokasi terus terjadi. Majalah Tempo edisi 5-11 Mei 2008 menulis, "Kecemasan di mana-mana. Ketakutan merajalela. Majelis Ulama Indonesia harus bertanggung jawab atas semua ini." Di bagian lain Tempo menulis, "Majelis Ulama sudah selayaknya meminta maaf kepada warga Ahmadiyah. Menjatuhkan fatwa sesat pada aliran itu berarti memberikan lampu hijau kepada gerombolan penyerang Ahmadiyah untuk bertindak anarkistis."
Ingat, pemilik majalah Tempo adalah Goenawan Mohamad yang juga penggiat AKKBB dan apel akbar. Kalau bukan provokasi terhadap umat Islam, lantas untuk apa tulisan menghina ulama itu?
Kapolres Jakarta Pusat Kombes Pol. Heru Winarko mengatakan kepada media massa pada 1 Juni 2008 bahwa AKKBB menurut rencana hanya berdemo di Cempaka Barat, lalu ke depan Kedubes AS, dan berikutnya ke Bundaran Hotel Indonesia. Di ketiga tempat tersebut polisi sudah menyiapkan pengamanan. Di Monas, mereka tidak meminta pengamanan. "Tapi, mengapa mereka malah masuk Monas?" ujarnya.
Ada keanehan di sini. Selain itu, Juru Bicara Ahmadiyah Mubarik mengatakan, sebenarnya dia sudah memperkirakan akan terjadinya insiden tersebut. Namun, dia mengaku enggan untuk membatalkan rencana aksinya (Hidayatullah, 2/6/2008).
Bukankah ini berarti pembiaran terjadinya insiden tersebut? Lebih dari itu, seorang anggota AKKBB tertangkap kamera membawa pistol dalam Insiden Monas. Dalam konferensi KLI diputar sebuah video yang memperlihatkan seorang peserta aksi berkaos putih, dengan sebuah pita merah putih di lengan kirinya, sempat mengeluarkan sebuah senjata api. (Hidayatullah, 2/6/2008). Lebih dari itu, menurut pengakuan peserta dari FPI, ada provokasi dari panitia (Detik.com, 3/6/2008).
Berdasarkan hal tersebut, benar apa yang dikatakan oleh Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI), Amidhan bahwa insiden di Silang Monas tersebut tidak serta-merta kesalahan massa beratribut FPI saja. Amidhan menilai apa yang selama ini dilakukan AKKBB juga amat provokatif alias memancing-mancing kemarahan umat Islam. Salah satunya adalah tindakan AKKBB yang menyertakan wakil-wakil agama lain selain agama Islam untuk ikut-ikutan membela kelompok sesat Ahmadiyah (Eramuslim, 2/6/08).
Pertanyaannya adalah mengapa Pemerintah dan DPR begitu sigap bersikap dalam insiden tersebut tetapi cenderung abai terhadap SKB pelarangan Ahmadiyah? Kalau terhadap mereka yang luka fisik dalam insiden Monas pemerintah dengan sigap bereaksi, tentu saja seharusnya pemerintah lebih sigap lagi terhadap persoalan Ahmadiyah yang telah menodai ajaran Islam dan melukai perasaan jutaan umat Islam.
KH Hasyim menyatakan, "Sebenarnya, masalah Ahmadiyah ini bukan masalah kebebasan beragama dan berkeyakinan, tetapi masalah penodaan agama tertentu, dalam hal ini adalah Islam." Beliau juga menyesalkan sikap Pemerintah yang tidak tegas terhadap persoalan Ahmadiyah. (Republika.co.id, 3/6/2008).
Rois Syuriah PWNU Jawa Timur, KH Miftahul Akhyar, juga menyatakan insiden Monas membuktikan SKB Ahmadiyah mendesak dikeluarkan (RCTI, 3/6/2008).
Menghancurkan Islam
Melihat pola masa lalu, insiden seperti ini akan melahirkan beberapa hal.
Pertama: pengalihan isu. Semula isu yang dominan adalah tuntutan kenaikan harga BBM dan pembubaran Ahmadiyah yang telah dinyatakan menyimpang oleh Bakorpakem. Kini, isu seakan bergeser menjadi isu pembubaran ormas Islam tertentu. Ketua Lembaga Penyuluh Bantuan Hukum PBNU, M Sholeh Amin mengingatkan jangan sampai pengalihan isu demikian dibiarkan. (Republika.co.id, 3/6/2008).
Kedua: stigmatisasi ormas Islam. Dari banyak komentar dan opini media massa digambarkan betapa buruknya wajah kaum Muslim yang sebenarnya justru membela kemurnian akidahnya.
Ketiga: menghancurkan organisasi Islam yang secara terbuka menentang pornografi-pornoaksi, kemungkaran, dan syariah Islam. Lihatlah, pasca Insiden Monas, Adnan Buyung Nasution dan Goenawan Mohamad menuntut pembubaran beberapa ormas Islam yang tidak terkait sama sekali dengan insiden tersebut. Bahkan mereka mendesak Menteri Hukum dan HAM untuk mengajukan permohonan ke pengadilan lalu meminta hakim untuk membubarkan Majelis Ulama Indonesia (Hidayatullah.com, 2/6/2008).
Tuntutan serupa pernah dilontarkan saat Munas MUI mengeluarkan fatwa haramnya sekularisme, liberalisme dan pluralisme; bahkan saat isu pornografi-pornoaksi. Padahal MUI tidak terlibat dalam insiden tersebut.
Jadi, yang sedang terjadi sebenarnya adalah upaya membungkam orang dan organisasi yang secara tegas menyuarakan Islam. Lantas siapa yang diuntungkan? Tentu, mereka yang tidak menginginkan Islam kuat dan mereka yang tidak menginginkan Indonesia kuat. Mereka ingin putra-putri negeri Muslim terbesar ini terus porak-poranda. Mereka yang diuntungkan adalah kaum kafir imperialis dan para kompradornya. Menarik dicatat, sebagian tokoh pendukung Ahmadiyah itu adalah para tokoh penting di balik Reformasi 1998 yang mendapat bantuan dana 26 juta dolar AS dari USAID untuk menjalankan agenda AS. Bantuan dana ini dapat dilihat dalam The New York Times (20 Mei 1998). Bahkan, salah satu rekomendasi The Rand Corporation dalam menundukkan Islam adalah mencegah aliansi antara kaum tradisionalis dan kaum fundamentalis. Caranya adalah dengan mengadu-domba.
Karena itu, sungguh bijak pernyataan Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi Hasyim yang menyesalkan penggunaan dan pelibatan nama NU dan kelompok NU dalam masalah ini. "Karena relevansinya tidak ada antara NU dan Monas, NU dan FPI. Tapi, kenapa lalu ditulis korban itu adalah orang NU?" ujarnya. Oleh karena itu, KH Hasyim mengingatkan pihak-pihak yang ingin menggiring NU, terutama badan otonom NU seperti GP Ansor, Ikatan Pencak Silat Pagar Nusa, Lakpesdam NU agar menghentikan provokasinya. (Detik.com, 3/6/2008).
Wahai kaum Muslim:
Hendaknya kita tidak mudah terprovokasi dan diadu-domba oleh kafir penjajah yang memang sangat ingin memecah-belah kesatuan umat Islam. Kita pun jangan sampai terdorong untuk memprovokasi dan mengadu-domba sesama Muslim karena Rasulullah saw. bersabda:
Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu-domba (Mutaffaq 'alaih).
Rasulullah saw. teladan kita pun telah mengingatkan, bahwa umat Islam tidak akan pernah hancur oleh kekuatan luar yang berasal dari musuh-musuh Islam, kecuali ketika kita sudah saling menghancurkan satu sama lain:
Sungguh, aku telah memohon kepada Tuhanku bagi umatku agar mereka tidak binasa karena wabah kelaparan dan agar musuh dari kalangan selain mereka sendiri tidak dapat menguasai mereka hingga masyarakat mereka terjaga. Sungguh, Tuhanku kemudian berfirman, "Wahai Muhammad, sesungguhnya jika Aku telah menetapkan suatu putusan maka putusan itu tidak dapat ditolak. Sungguh, Aku telah memberimu bagi umatmu bahwa mereka tidak dibinasakan oleh wabah kelaparan dan musuh selain dari kalangan mereka tidak dapat menguasai mereka sehingga masyarakat mereka terjaga sekalipun dikepung dari berbagai penjuru, hingga mereka saling menghancurkan satu sama lain dan saling menawan satu sama lain." (HR Muslim).