Gadis kecil duduk meringkuk kedinginan.
Ingatannya berputar – putar seperti slide show yang diputar berulang – ulang pada episode sore itu di sebuah ruangan putih besar, berderet rancang – ranjang besi, diatasnya terbaring orang – orang dengan wajah lemah tak berdaya.
Selang plastik menggantung diatas menyalurkan tetes – tetes bening dari botol infus ke jarum tajam menghujam di lengan, meninggalkan bekas tusukan – tusukan menyakitkan.
Ayahnya duduk diatas ranjang membelai sayang rambutnya yang kusam, seminggu tak keramas. Tangan satunya menggenggam tangan gadis kecil lemah tak berdaya terkulai diatas ranjang.
“Sakit nduk?”
Yang ditanya hanya menggeleng pelan sambil menyunggingkan senyum menunjukkan deretan mungil berwarna putih pucat, berharap sang ayah percaya bahwa ia tak merasakan sakit sedikitpun. Namun senyumnya malah membuat sejumput air tumpah dari mata sang ayah.
“Ayah, akan berusaha lebih giat agak kamu mendapatkan pengobatan terbaik” ucapnya dengan penekanan
“Ayah, Yuan sudah tidak sakit lagi”
“Kita pulang saja”
Sang ayah menggeleng tanda tidak setuju atas permintaan sang anak.
“Kamu boleh pulang kalau kamu sudah sembuh, ayah sedang berusaha nak”
“Ayah, jangan berkorban untuk ku,aku hanya anak yang kau pungut di tepi jalan, aku tidak berharga, orang tuaku saja tak menginginkan ku” pinta gadis kecil itu pada sang ayah.
Tentu saja permintaan itu tidak diiyakan oleh sang ayah.
“Siapa yang bilang kau tidak berharga anak ku sayang, kau anak yang baik, penurut pintar”
“Bukan kah kau ingin jadi dokter?”
“Jadi kau harus sembuh”
“Tapi Ayah...” gadis kecil itu tak bisa melanjutkan kalimatnya, sebuah cairang hangat keluar dari hidungnya. Merah pekat.
Sang ayah sigap mengambil tisyu gulung diatas meja dan membersihkan aliran darah yang keluar dari hidung putri kecilnya.
‘Tuhan, ia hanya gadis kecil yang baru berumur 8 tahun, mengapa ia harus mengalami penderitaan seberat ini’ gumannya dalam hati.
Gadis kecil duduk meringkuk diantara tumpukan kardus .
‘Ayah aku ingin mati’
Malam itu didalam kamarnya ia mendekap hidungnya yang terus mengeluarkan darah, dibalik tembok ia mendengar Istri ayahnya sedang marah.
“Apa lagi yang mau kau jual?”
“Televisi, Kulkas, perabot rumah sudah habis”
“Perhiasan ku pun menjadi korban anak pungutmu itu”
“Apa kau ingin menjual ku juga, hah?” wanita itu duduk membelakangi laki – laki berkemeja kotak kotak yang sedang menggenggam sebuah buku kecil tipis berwarna biru. Angka terakhir menunjukkan Rp. 52.399,-
“Astaghfirullah Bu, nyebut, Istighfar”
“Jangan keras – keras, Anak kita ada dikamar sebelah” kata laki – laki itu lirih, berharap sang gadis yang dimaksud sudah tidur.
“Biar dia dengar semua, biar dia tau kalau penyekit sialan itu sudah membuat kita miskin, tak punya apa – apa”
“Biar dia tahu diri, biar dia pergi minta duit sama orang tua kandungnya”
Di ruangan yang hanya terhalang tembok, gadis itu menangis dalam diam, cairan merah pekat itu tak jua berhenti mengalir, berlomba keluar dengan iar matanya. Ia tertidur dalam kesakitan.
Istri ayahnya mebawanya pulang setelah membayar biaya pengobatannya dengan uang pinjaman. Meskipun dokter malarangnya pulang.
Ia tak keberatan pulang, ia memilih menuruti kata – kata istri ayahnya. Ia tak ingin menjadi beban untuk ayahnya, sakit yang ia rasakan menjadi semakin sakit katika melihat wajah segar ayahnya dulu kini berubah menjadi kurustak terurus. Ia tak ingin ayahnya benar- benar ditinggalkan istrinya karena dia.
Gadis kecil itu tak lagi duduk meringkuk, melainkan sudah terkapar tak berdaya diatas tumpukan kardus.
Sang ayah kebingungan berlari kesana kemari mencari anaknya dibawah titik – titik air yang turun semakin deras.
Selembar photo didalam plastik bening ia tunjukan pada setiap orang yang ia temui, berharap mereka tahu keberadaan gadis kecil yang tersenyum lebar dalam photo. Dibalik photo iku tertulis sebuah pesan.
Selang plastik menggantung diatas menyalurkan tetes – tetes bening dari botol infus ke jarum tajam menghujam di lengan, meninggalkan bekas tusukan – tusukan menyakitkan.
Ayahnya duduk diatas ranjang membelai sayang rambutnya yang kusam, seminggu tak keramas. Tangan satunya menggenggam tangan gadis kecil lemah tak berdaya terkulai diatas ranjang.
“Sakit nduk?”
Yang ditanya hanya menggeleng pelan sambil menyunggingkan senyum menunjukkan deretan mungil berwarna putih pucat, berharap sang ayah percaya bahwa ia tak merasakan sakit sedikitpun. Namun senyumnya malah membuat sejumput air tumpah dari mata sang ayah.
“Ayah, akan berusaha lebih giat agak kamu mendapatkan pengobatan terbaik” ucapnya dengan penekanan
“Ayah, Yuan sudah tidak sakit lagi”
“Kita pulang saja”
Sang ayah menggeleng tanda tidak setuju atas permintaan sang anak.
“Kamu boleh pulang kalau kamu sudah sembuh, ayah sedang berusaha nak”
“Ayah, jangan berkorban untuk ku,aku hanya anak yang kau pungut di tepi jalan, aku tidak berharga, orang tuaku saja tak menginginkan ku” pinta gadis kecil itu pada sang ayah.
Tentu saja permintaan itu tidak diiyakan oleh sang ayah.
“Siapa yang bilang kau tidak berharga anak ku sayang, kau anak yang baik, penurut pintar”
“Bukan kah kau ingin jadi dokter?”
“Jadi kau harus sembuh”
“Tapi Ayah...” gadis kecil itu tak bisa melanjutkan kalimatnya, sebuah cairang hangat keluar dari hidungnya. Merah pekat.
Sang ayah sigap mengambil tisyu gulung diatas meja dan membersihkan aliran darah yang keluar dari hidung putri kecilnya.
‘Tuhan, ia hanya gadis kecil yang baru berumur 8 tahun, mengapa ia harus mengalami penderitaan seberat ini’ gumannya dalam hati.
Gadis kecil duduk meringkuk diantara tumpukan kardus .
‘Ayah aku ingin mati’
Malam itu didalam kamarnya ia mendekap hidungnya yang terus mengeluarkan darah, dibalik tembok ia mendengar Istri ayahnya sedang marah.
“Apa lagi yang mau kau jual?”
“Televisi, Kulkas, perabot rumah sudah habis”
“Perhiasan ku pun menjadi korban anak pungutmu itu”
“Apa kau ingin menjual ku juga, hah?” wanita itu duduk membelakangi laki – laki berkemeja kotak kotak yang sedang menggenggam sebuah buku kecil tipis berwarna biru. Angka terakhir menunjukkan Rp. 52.399,-
“Astaghfirullah Bu, nyebut, Istighfar”
“Jangan keras – keras, Anak kita ada dikamar sebelah” kata laki – laki itu lirih, berharap sang gadis yang dimaksud sudah tidur.
“Biar dia dengar semua, biar dia tau kalau penyekit sialan itu sudah membuat kita miskin, tak punya apa – apa”
“Biar dia tahu diri, biar dia pergi minta duit sama orang tua kandungnya”
Di ruangan yang hanya terhalang tembok, gadis itu menangis dalam diam, cairan merah pekat itu tak jua berhenti mengalir, berlomba keluar dengan iar matanya. Ia tertidur dalam kesakitan.
Istri ayahnya mebawanya pulang setelah membayar biaya pengobatannya dengan uang pinjaman. Meskipun dokter malarangnya pulang.
Ia tak keberatan pulang, ia memilih menuruti kata – kata istri ayahnya. Ia tak ingin menjadi beban untuk ayahnya, sakit yang ia rasakan menjadi semakin sakit katika melihat wajah segar ayahnya dulu kini berubah menjadi kurustak terurus. Ia tak ingin ayahnya benar- benar ditinggalkan istrinya karena dia.
Gadis kecil itu tak lagi duduk meringkuk, melainkan sudah terkapar tak berdaya diatas tumpukan kardus.
Sang ayah kebingungan berlari kesana kemari mencari anaknya dibawah titik – titik air yang turun semakin deras.
Selembar photo didalam plastik bening ia tunjukan pada setiap orang yang ia temui, berharap mereka tahu keberadaan gadis kecil yang tersenyum lebar dalam photo. Dibalik photo iku tertulis sebuah pesan.
“Ayah, jangan kuatir aku akan baik – baik saja,
Ayah, maafin aku yang buat ayah sedih,
Aku tidak mau melihat ayah sedih lagi,
Ayah...
Aku sayang sama ayah”
Ayah, maafin aku yang buat ayah sedih,
Aku tidak mau melihat ayah sedih lagi,
Ayah...
Aku sayang sama ayah”
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Mengenang Yu Yuan
Aku pernah datang dan aku sangat penurut”
Suci
Wonoayu, 6 Septembar 2010 11.17
No comments:
Post a Comment