Lima tahun (kalo tidak salah) luapan lumpur Lapindo di Porong belum juga menunjukkan tanda – tanda akan segera berhenti, malah beberapa minggu yang lalu salah satu tanggul jebol lagi. Beberapa titik semburan baru juga kerap muncul. Di pekarangan rumah bahkan ada yang didapur rumah warga.
Lima tahun bukan waktu yang singkat, berbagai penelitian telah dilakukan baik ahli dari dalam negeri atau dari luar negeri. Baru – baru ini terdengar kabar puluhan ilmuwan akan berkumpul untuk meneliti kembali persoalan ini, tak tanggung – tanggung penggagasnya dari Australia. Semoga usaha – usaha yang dilakukan dapat membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
Saat melintasi jalan raya Porong untuk pertama kali setelah luapan lumpur Lapindo, saya merasa miris sekali, bangunan – bangunan disebelah timur, seolah melihat kota mati. Bangunan – bangunan berjajar tanpa atap, tanah kering, gersang, dibeberapa bagian terlihat retak – retak, sinar matahari terasa sangat terik membakar tanpa ada pepohonan untuk berteduh.
Meskipun tidak merasakan langsung dampak semburan lumpur Lapindo, saya yang tinggal di wilayah lain Sidoarjo, cukup merasa terganggu oleh baunya yang kadang terbawa angin hingga belasan kilometer baunya menyengat. Pada saat kondisi tubuh tidak seratus persen fit, saya sendiri bahkan bisa mengalami sakit kepala olehnya.
Saya mulai membayangkan bagaimana keadaan warga yang tinggal dipengungsian, kalau saya berada disana mungkin harus selalu memakai masker, karena tidak tahan oleh baunya. Saya pernah lewat bekas jalan tol porong yang pernah terendam lumpur. Ternyata di sana berdiri bedeng – bedeng tempat tinggal para korban lumpur.
Kaget, karena waktu itu saya pikir tempat pengungsian berada di pasar baru Porong, dan bukan kah para korban telah mendapatkan ganti rugi sebesar dua puluh persen untuk uang sewa rumah tinggal sementara.
Setelah bertanya, saya mengetahui bahwa ada beberapa area yang tidak masuk dalam peta terdampak hingga tidak mendapat ganti rugi, ada juga orang – orang yang cocok dengan skema ganti rugi, hingga urusan pun menjadi ruwet.
Saat luapan ini baru dimulai dan orang – orang menempati tempat pengungsian, saya dan teman – teman di kampus berniat membuka posko di sana, tapi niat itu tidak kami lanjutkan setelah mendengar cerita dari beberapa relawan yang bertugas disana.
Sebagian dari korban lumpur Lapindo, bukanlah orang miskin, mereka dahulunya memiliki rumah besar, kendaraan pribadi, sawah dan lain – lain. Beberapa dari mereka tapi tidak semua enggan mendapatkan perlakuan seyogyanya orang – orang dipengungsian, menolak nasi bungkus. Hingga makanan jatah pun disupplay oleh katering dengan tempat makan dari stainless steel. Bukan sekali dua kali terdengar keluhan dari mereka.
Saat ganti rugi dicairkan, banyak korban lumpur Lapindo yang berubah menjadi jutawan, ada yang membeli motor mobil, rumah bahkan langsung naik haji. Keadaan ini juga menjadi ladang orang – orang tertentu untuk mencari keuntungan, saya mengenal keluarga yang mempunyai tanah di porong, tapi tidak ditinggali. Namun entah bagaimana caranya saat korban sesungguhnya disibukkan dengan urusan administrasi ganti rugi ini dan itu, keluarga ini bisa dengan mudah mencairkan dananya. Ajaib.
Cerita diatas hanya sedikit menggambarkan ironi para korban lumpur Lapindo, ada yang berubah menjadi jutawan baru, ada pula yang kehilangan kehidupan karenanya.
Namun kisah mereka dan warga Sidoarjo belum usai, masih banyak warga yang belum mendapat ganti rugi, luapan lumpurpun belum tertangani, ada berita baru yang menggemparkan. BP MIGAS MEMBERIKAN IJIN PADA LAPINDO UNTUK KEMBALI MEMULAI PENGEBORAN GAS DI TANGGULANGIN, tidak jauh dari pusat semburan.
Pertama kali membacanya dimedia elektronik, saya MARAH, GERAM, tak habis pikir. Bagaimana mungkin pemerintah bisa memberikan ijin kepada perusahaan yang sama untuk melakukan eksplorasi ditempat yang tidak jauh dari insiden pertama, padahal kewajibannya belum juga tuntas.
Warga belum juga usai kekhawatirannya akan ancaman semburan – semburan baru yang kerap muncul dimanapun tanpa dapat diprediksi, dan pengeboran baru akan segera dimulai, yang kabarnya akhir Agustus ini.
Mereka berkilah bahwa mereka bukan menyedot minyak tapi gas, jadi tidak terlalu berbahaya. Dan pengeboran ini akan lebih bermanfaat untuk negara dan warga sekitar, benarkah? Mungkin. Tapi manfaat mana yang akan diterima warga Sidoarjo dengan adanya pengeboran ini?
Sangat bersyukur membaca tanggapan Pak Dhe Karwo, beliau sebagai Gubernur Jawa Timur tidak akan memberi ijin untuk eksplorasi sebelum semua ganti rugi dilunasi, itupun bila warga setuju. Semoga beliau konsisten dengan keputusannya.
Namun ada beberapa hal yang masih mengganjal, setelah lima tahun berlalu, berpuluh – puluh kali korban lumpur berteriak dijalan, mengadu ke istana namun Pemerintah belum melakukan tindakan berarti untuk menyelesaikan persoalan ini, bukan kah penyelesaian nasib mereka juga merupakan agenda kampanye presiden terpilih dan anggota DPR dari wilayah Jatim?
Mungkinkah telinga mereka telah tersumbat koalisi, atau hati telah mengeras?
Kalau memang sudah tak boleh berharap prang – orang yang berkuasa melakukan tindakan yang benar, harus bagaimana agar warga Sidoarjo dapat hidup nyaman dan tidur dengan nyenyak tanpa was – was?
Hanya Allahlah tempat mengadu, mereka yang duduk di kursi empuk itu hanya manusia. Semoga Allah memberikan jalan terbaik untuk menyelesaikan semua persoalan. Sementara hanya doa ini yang bisa dilakukan.
Suci
Wonoayu
10.47 27 Mei 2011
No comments:
Post a Comment